Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
STEPHANIE Frappart membuat sejarah ketika turun sebagai wasit dalam pertandingan Piala Dunia 2022 antara Meksiko dan Polandia, Selasa (22/11) malam WIB. Wasit asal Prancis itu menjadi ofi sial keempat di laga tersebut dan menjadi wanita pertama yang memimpin pertandingan Piala Dunia pria dalam 92 tahun sejarah turnamen tersebut. Sosoknya muncul di Stadion 974, mencuri perhatian ketika berjajar dengan tiga wasit pria yang memimpin laga itu bersama kapten tim saat berfoto sebelum pertandingan.
Frappart, Salima Mukansanga dari Rwanda, dan Yamashita Yoshimi dari Jepang adalah srikandi wasit wanita yang masuk daftar 36 pemimpin pertandingan utama yang dipilih oleh FIFA untuk Piala Dunia kali ini. Tiga wasit wanita lainnya, Neuza Back dari Brasil, Karen Diaz Medina dari Meksiko, dan Kathryn Nesbitt dari Amerika Serikat, ditunjuk sebagai asisten wasit di turnamen sepak bola terakbar tersebut.
Pada laga Grup E antara Kosta Rika dan Jerman, Jumat (2/12) dini hari WIB, Frappart tidak lagi berdiri di pinggir lapangan sebagai ofi sial keempat. Dia mencatatkan sejarah baru di Piala Dunia sebagai bagian dari tim wasit yang semuanya dipimpin wanita. Perempuan berusia 38 tahun itu ditunjuk FIFA sebagai wasit utama dan akan ditemani oleh Back dan Medina sebagai asisten wasit.
Bagi Frappart, terpilih menjadi wasit Piala Dunia menjadi langkah besar dalam kariernya setelah memimpin pertandingan pada kompetisi di Eropa. Ia juga menjadi wanita pertama yang memimpin pertandingan Liga Champions antara Juventus dan Dynamo Kiev pada Desember 2020.
Selain itu, Frappart adalah wanita pertama yang menjadi wasit di Ligue 1 Prancis pada 2019. Di tahun yang sama, Frappart memimpin fi nal Piala Dunia wanita di negara asalnya. Frappart juga menjadi wasit fi nal Piala Super UEFA 2019 antara Liverpool dan Chelsea serta fi nal Piala Prancis musim lalu.
“Saya benar-benar terharu karena saya tidak mengharapkan ini. Ini tidak lebih besar dari Piala Dunia,” kata Frappart.
Yamashita, yang dua tahun lebih muda dari Frappart, juga mengalami peningkatan karier di Jepang. Dia pertama kali mengambil peluit atas desakan temannya saat kuliah, Makoto Bozono, yang juga wasit wanita, serta pernah menjadi asisten wasit di Piala Dunia Wanita 2019. Yamashita awalnya menolak, tetapi justru ketagihan.
“Bozono mamaksa saya dan begitulah saya memulainya. Namun, setelah memimpin satu laga, saya ingin melakukannya dengan lebih baik. Anda memikirkan apa yang seharusnya bisa saya lakukan lebih baik,” ungkap Yamashita.
Pada laga Grup B Piala Dunia 2022 antara Wales dan Inggris di Stadion Ahmad Bin Ali di Al-Rayyan, Doha, Rabu (30/11) dini hari WIB, Yamashita ditujuk sebagai ofi sial keempat. Ajang kompetisi sepak bola paling bergengsi kali ini bukanlah tempat pertama bagi Yamashita menjadi wasit di turnamen internasional. Dia mulai menjadi wasit internasional pada 2015 dan memimpin laga Piala Dunia putri U-17 di Yordania pada 2016 dan dua tahun kemudian di Uruguay.
Pada 2019, dia memimpin Piala Dunia putri di Prancis bersama Bozono dan wasit wanita Jepang lainnya, Naomi Teshirogi.
Ketiganya mencetak sejarah di tahun yang sama ketika menjadi tim wasit perempuan pertama yang memimpin laga Piala AFC. “Saya memiliki tanggung jawab untuk menggunakan semua pengalaman yang saya dapatkan dari pertandingan dan turnamen,” kata dia.
Terpilih sebagai wasit di Piala Dunia, wanita yang sebelumnya bekerja sebagai instruktur kebugaran itu mengaku merasakan adanya tekanan dan kegembiraan. Yamashita mengatakan bahwa menjadi wasit di Piala Dunia merupakan tanggung jawab besar dan dia senang mendapat kesempatan itu. “Saya akan merasa bangga dan bertanggung jawab sebagai orang Jepang, dan saya akan mempersiapkan diri untuk menyukseskannya dengan kemampuan terbaik saya,” ujarnya.
Wanita berusia 36 tahun itu juga tidak memikirkan pertandingan mana yang ingin dia pimpin. Dia mengatakan akan tetap mengambil pendekatan yang sama sejak terdaftar sebagai wasit internasional tujuh tahun lalu. “Saya tidak melihat adanya perbedaan antara sepak bola pria dan wanita. Saya ingin dianggap normal bagi perempuan untuk menjadi wasit pertandingan laki-laki, jadi apa yang terjadi di Qatar perlu dilanjutkan,” kata Yamashita.
Adapun Mukansanga, ia dipanggil ke Piala Dunia setelah menjadi wanita pertama yang memimpin pertandingan sapak bola putra di Piala Afrika pada Januari tahun ini. Tahun lalu dia menjadi wasit di Olimpiade 2020. Menjadi wasit FIFA sejak 2012, perempuan yang tinggal di negara Afrika Tengah itu pernah bercitacita menjadi pemain bola basket profesional. Namun, cita-cita itu tak terwujud dan sepak bola jadi bagian dari hidupnya. Mukansanga, 34, sudah menjadi wasit di liga domestik wanita di negara asalnya pada usia 20 tahun.
“Saya menyukai wasit sejak kecil. Saya terinspirasi ketika saya pergi ke pertandingan di kampung halaman saya dan saya akan melihat ke lapangan menonton para pemain, tetapi juga wasit,” ujarnya.
Kualitas diakui
Meski demikian, tidak satu pun dari enam wasit wanita yang membuat sejarah baru di Piala Dunia itu ingin jenis kelamin mereka menjadi bahan pembicaraan atau bahkan mencari pusat perhatian.
“Ditunjuk ke Piala Dunia pria adalah sesuatu yang baru, kesempatan lain yang kami dapatkan. Itu berarti FIFA mengakui bahwa wanita bekerja keras, bahwa kami bisa menunjukan kualitas,” kata Mukansanga.
Bagi Frappart, yang diapresiasi di Prancis karena gaya diplomatis dan juga ketegasannya, ini bukan lagi tentang jenis kelamin, tetapi ini tentang kemampuan menjadi wasit yang memimpin pertandingan.
“FIFA dan badan-badan pemerintahan mengeluarkan pesan yang kuat dengan memiliki wasit wanita di negara-negara ini,” kata Frappart, yang berharap menjadi panutan bagi generasi wanita berikutnya. “Saya bukan juru bicara feminis, tapi mungkin ini bisa membantu memajukan semuanya,” lanjutnya.
Kepala Komite Wasit FIFA Pierluigi Colinna mengatakan penunjukan wasit wanita ini mengacu pada kualitas mereka sebagai wasit, bukan dari jenis kelamin. “Dengan cara ini, kami dengan jelas menekankan bahwa kualitaslah yang penting bagi kami dan itu bukan gender. Saya harap ke depannya pemilihan ofi sial pertandingan elite putri
untuk kompetisi pria bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak lagi sensasional,” tukas Colinna. (AFP/FIFA/R-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved