BANYAKNYA kompetisi sepak bola untuk para pemain usia dini merupakan hal positif bagi persepakbolaan Indonesia. Namun, harus diakui turnamen-turnamen yang digelar kurang tertata dan terkoordinasi.
“Dulu pembinaan atau turnamen itu sedikit, tapi terkoordinasi. Sekarang banyak, tapi tidak terkoordinasi. Tentu baiknya yang banyak ini bisa dikoordinasikan. Menjadi tugas PSSI untuk merangkul ini. Mereka rangkul turnamen-turnamen seperti ini, kalau sudah masuk level Soeratin jadi tanggung jawab penuh PSSI,” jelas pemain nasional era-70an, Risdianto, akhir pekan lalu.
Hal senada diungkapkan Deputi III bidang Pembudayaan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Raden Isnanta. Menurutnya, pembinaan pemain muda harus dilakukan dengan sinergi. Tidak hanya harus berjenjang, pembinaan melalui turnamen untuk usia muda seharusnya diintegrasikan agar jadwalnya tidak tumpang-tindih.
Baca Juga : Instruksi Jokowi, Bersihkan PSSI
“Masyarakat dan dunia usaha ini juga ikut bergerak artinya mereka perlu dibimbing. Jadwalnya diatur, jangan sampai tabrakan. Kalau tidak ada koordinasi, latihan terus tapi tidak ada kejuaraannya. Pas di momen tertentu turnamennya yang padat, tidak sempat latihan,” katanya.
Di sisi lain, penerapan kurikulum sepak bola nasional dalam filosofi sepak bola Indonesia (Filanesia) mulai menyentuh turnamen-turnamen yang diinisiasi swasta. Semisal di ajang Milo Football Championship, penyelenggara mengubah format pertandingan sembilan lawan sembilan, menjadi tujuh lawan tujuh sesuai dengan rumusan dalam turnamen pembinaan usia muda Filanesia.
“Ya, kami mengganti format tujuh lawan tujuh karena di kurikulum yang dibuat PSSI, yakni Filanesia, untuk turnamen di U-12 itu menggunakan format itu,” jelas tim pencari bakat Milo Football Championship, Kurniawan Dwi Yulianto. (Sat/R-1)