Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Mengantisipasi Ironi Jawa Jokowi

(Arif Hulwan/P-5)
29/12/2015 00:00
Mengantisipasi Ironi Jawa Jokowi
(ANTARA/ PUSPA PERWITASARI)
JOKO Widodo tidak sungkan berbagi kue kekuasaan. Sebagai seorang pemimpin berlatar belakang Jawa, ia justru bersedia merangkul 'kaum pinggiran'. Jokowi bak antitesis dari karya Benedict Richard O'Gorman Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture. Anderson, Indonesianis asal Amerika, menyebutkan, di Jawa ada kecenderungan untuk enggan berbagi kekuasaan serta sikap permisif terhadap pengumpulan kekayaan lewat jalur kekuasaan. Kekuasaan Jawa selalu ditandai dengan upaya konsentrasi power.

Anomali Jokowi dapat dipahami karena dia bukan siapa-siapa bila dibandingkan dengan kaum oligarki yang sudah lebih dulu menguasai politik-ekonomi Indonesia. Apalagi, PDI Perjuangan kerap bertindak bak oposan alih-alih partai pendukung pemerintah. Jangan lupa, posisi Jokowi di PDIP hanyalah 'petugas partai'. Jika sedikit beralih dari persoalan anomali, Jokowi berupaya merealisasikan janji kampanye Nawa Cita dengan frasa utama 'menghadirkan kembali negara'. Dalam menjalankan hal itu, ia menempatkan sejumlah bekas tim sukses era Pilpres 2014 pada posisi strategis.

Sebut saja aktivis antikorupsi Teten Masduki, akademisi Pratikno, Andi Widjajanto, Rini Soemarno, dan pengamat tata negara Refly Harun. Khusus untuk Rini, Jokowi bahkan mempertahankan mati-matian kendati PDIP gencar bermanuver agar yang bersangkutan dicopot dari Menteri BUMN. Yang paling relevan dalam visi pembangunan Jokowi saat ini ialah posisi Rini. Entah merujuk pada ideologi begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo atau tidak, Jokowi jelas menginginkan konsep active state dalam perekonomian. Infrastruktur jadi salah satu fokusnya dan BUMN paling bisa memberikan sumbangsih.

Berbagai langkah politik Jokowi, termasuk 'menghadirkan kembali negara' sejatinya mesti dibaca dalam perspektif penguatan di mata publik. Dalam bahasa pakar politik Fachry Ali, Jokowi, yang bukan siapa-siapa saat ini dikepung kaum oligarki yang menguasi ekonomi dan politik Indonesia.  Penguatan sosok di mata publik itu pula yang dilakukan Jokowi, misalnya, dalam kasus pelemahan terhadap KPK dan 'papa minta saham'. Dia memainkan perannya meski dengan bahasa yang agak tersamar ala orang Jawa.

Kesediaan Jokowi berbagai kue kekuasaan pun mulai berbuah hasil. PAN merapat meski belum mendapat jatah di kabinet. PKS bersilaturahim. Tak mustahil dukungan ke lembaga kepresidenan di parlemen akan menguat. Ke depannya, Jokowi makin percaya diri dan mampu mengonsolidasikan sumber daya. Di sinilah pentingnya sosok Fadli Zon, Fahri Hamzah, atau Effendi Simbolon, yang rajin 'menggonggong' meski tak selalu logis. Tak mustahil sosok ke-Jawa-an ala Ben Anderson muncul saat semua sudah pada kendalinya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik