Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
KETIKA niat korupsi merasuki akal, kesadaran pun tumpul dan logika menjadi buta. Hal itu tecermin dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) untuk rumah sakit rujukan di Provinsi Banten dengan tersangka Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik kandung Ratu Atut Chosiyah.
Untuk memenuhi niatnya, Wawan menjadikan sopir sebagai direktur bodong. Yusuf Supriadi, sopir pribadi anak buah Wawan sekaligus Manajer Operasional PT Bali Pasicif Pragama (BPP), Dadang Prijatna,
didapuk menjadi Direktur PT Adca Mandiri. Penunjukan itu sebagai jalan pintas guna menguasai proyek alkes senilai Rp6,6 miliar.
“Betul saya direktur, tetapi itu perusahaan punya Pak Dadang. Ditunjuk menjadi direktur oleh Pak Dadang,” kata Yusuf saat bersaksi untuk terdakwa mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (5/4).
Yusuf mengaku menerima status direktur hanya untuk mengikuti perintah majikannya, Dadang. Sebagai direktur, dia hanya diminta membubuhkan tanda tangan pada sejumlah tender.
Meski tercantum sebagai direktur, Yusuf tetap merangkap sebagai kurir. Dadang kerap memerintahnya untuk mengantar uang pelicin ke sejumlah nama, salah satunya untuk pejabat pelaksana teknis kegiatan alkes di Dinkes Banten, Jana Sunawati.
Selain Jana, Yusuf diminta Dadang untuk membawa uang ke Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Djaja Budy Suhardja. “Saya ingat dulu dua kali (antar), amplop cokelat kecil. Amplopnya lebih kecil dari yang diantar ke Bu Jana,” ucapnya.
Dadang juga memerintahkan Yusuf untuk menyerahkan uang kepada Kepala Dinas Bina Marga dan Tata Ruang Sutadi dan Kadis Sumber Daya Air dan Pemukiman Iing Suwardi selaku.
“Semua perintah Pak Dadang. Tidak pernah saya tahu (nilainya), hanya jalankan perintah,” ujarnya. Selain itu, Yusuf mengaku hanya menerima upah sopir, bukan direktur, meskipun perusahaan yang dipimpinnya menang tender Rp6,6 miliar. Upah besar malah diterima Dadang yang bukan siapa-siapa di perusahaan.
“Pembayarannya semua ke rekening Pak Dadang. Saya cuma disuruh tanda tangan cek doang,” ungkapnya lagi.
Demi tender
Saksi lain, karyawan PT BPP, Sigit Widodo, menjelaskan modus tersebut tidak hanya menimpa Yusuf karena Dadang kerap menjadikan bawahannya sebagai petinggi perusahaan. Banyak anak buah Wawan yang dicatut untuk membuat perusahaan bodong dan hanya dimanfaatkan untuk mengikuti tender.
“Karyawan PT BPP (perusahaan Wawan) banyak yang punya perusahaan. Proses pembuatan perusahaan dari Pak Dadang,” papar Yusuf. Dalam kasus itu, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah didakwa menyalahgunakan kekuasaan untuk mengatur proyek pengadaan proyek alkes RS rujukan di Banten tahun 2012.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten Djadja Buddy Suhardja diarahkan untuk berkoordinasi dengan Wawan untuk membahas proyek-proyek kesehatan.
Proses pengadaan dan pengang garan alkes direkayasa sedemikian rupa. Setelah penetapan pemenang lelang, Djadja selaku penanggung jawab anggaran (PA) menandatangani kontrak dengan pihak perusahaan pemenang lelang.
Salah satunya dengan PT Adca Mandiri, yang dalam dokumen ditandatangani Yusuf selalu direktur. (P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved