Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
RAIS Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Masdar Farid Mas'udi dihadirkan kuasa hukum terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alais Ahok sebagai saksi ahli dalam kasus dugaan penodaan agama dalam persidangan Rabu (29/3).
Lalu apa alasan Masdar bersedia melawan arus dengan membela Basuki, wartawan Media Indonesia Erandhi Hutomo Saputra mewawancarai penulis buku Islam dan Hak-Hak Reproduksi Wanita (1996), salah satu buku yang dinilai paling berpengaruh di Indonesia itu kemarin (Kamis, 30/3).
Berikut petikannya:
Kenapa Anda mau menjadi saksi yang meringankan untuk Ahok?
Mekanisme mencari keadilan kan ada unsur-unsurnya, penuntutan sebagai tesa, dan pembelaan sebagai antitesa. Muaranya kan di keputusan hakim agar keadilan bisa dicapai lebih baik. Motivasinya agar mendapatkan keputusan yang seadil-adilnya. Unsur-unsur itu rukun mencari keadilan. Kalau hanya jaksa kan bisa timpang karena yang ketahuan hanya kesalahannya, tapi pembelaan dari penasihat hukum tidak bisa sendirian. Jadi, sama-sama mencari keputusan yang adil sebagai sintesa-nya.
Atas nama pribadi atau PBNU sebagai saksi?
Pribadi.
Saksi Ahok sebelumnya KH Ahmad Ishomudin justru dihina dan dicaci, apakah tidak khawatir itu akan menimpa Anda juga?
Semua tindakan kan ada risikonya. Apakah risiko itu tampak atau tidak, itu sama saja. Hidup ini kalau tidak bisa hadapi risiko, ya jangan hidup. Kenapa harus menerima risiko, nanti kan publik juga akan menilai.
Termasuk risiko dipecat dari PBNU seperti KH Ishomudin dari MUI?
Saya tidak atas nama apa pun kok, atas nama pribadi. Tidak usah pakai kalau-kalau, kalau itu tidak ada selesainya.
Kenapa Anda berbeda dengan kesaksian Ketua MUI KH Ma'ruf Amin dan Wakil Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar?
Tidak ada masalah. Dua-duanya penting untuk mencari kebenaran yang lebih sejati.
Apakah Anda kenal secara pribadi dengan Ahok?
Ya tahu lah, pernah beberapa kali ketemu di acara DKI karena saya kan (pengurus) di Dewan Masjid Indonesia. Hanya kenal saja, gubernur ya kenal.
Bagaimana Anda melihat pidato Ahok yang membawa-bawa Al-Maidah 51?
Dia kan hanya mencoba meluruskan apa yang suka disampaikan oleh, yang menurut dia, para politikus yang mendiskreditkan dia sebagai orang nonmuslim.
Dia lalu berkomentar ya karena dia dikomentari orang, berarti kan masuk akal. Saya tidak yakin bagaimana dia mau menodai Islam, sementara Islam dianut mayoritas, sementara dia lagi butuh suara. Kan tidak masuk akal.
Bolehkah Ahok yang nonmuslim mengutip Al-Maidah 51?
Karena ada orang yang dia (Ahok) sinyalir mengaitkan Ahok dengan Al-Maidah, ya dia berhak dong memberikan respons. Kalau ujug-ujug, tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba ngutip, ya itu bisa dipertanyakan.
Bagaimana seharusnya masyarakat memahami Al-Maidah 51 dalam konteks saat ini?
Ya Al-Maidah 51 itu ada surah lain di Surah Al-Mumtahanah ayat 8. Kalau Al-Maidah 51 mengatakan Yahudi dan Nasrani tidak boleh dipilih, tapi di ayat yang lain (Al-Mumtahanah ayat 8) yang tidak boleh dipilih itu ialah yang memerangi kamu dan mengusirmu dari negerimu. Jadi kalau dia tidak memerangi dan tidak mengusir, ya tidak masalah. Tidak boleh hanya satu ayat itu yang dikutip.
Anda menilai kasus yang menimpa Ahok bermuatan politis?
Ini kan musim politik dan dia nyalon, sangat boleh jadi dan yang jadi isu kan persoalan politik kepemimpinan. Jadi tidak masuk akal kalau tidak punya motivasi politik. Kalau tidak ada pilkada, tidak akan muncul (kasus Ahok).
Masyarakat terbelah, ada yang pro dan yang kontra. Bagaimana menurut Anda?
Pro-kontra itu normal, tapi kalau sampai berujung pada konflik, ya tidak bisa. Apalagi berdasarkan SARA, dalam negara bangsa itu sangat bahaya. Yang rugi kita semuanya.
Ini negara bangsa, bukan negara agama, negara suku, atau negara ras. Jadi, kita memilih pemimpin itu jangan dengan argumen SARA. Kalau begitu kan primitif.
Siapa pun warga negara berhak memilih dan dipilih. Lihat kualitas kepemimpinannya, pemihakan kepada rakyat bagaimana. Itu yang paling esensial. Memang ada peran paling penting dari para pemimpin. SARA tidak boleh dibawa-bawa dalam ranah politik. Kalau kita mau dewasa dan mau NKRI bertahan. Kita boleh saja mengaku Islam, Kristen, Jawa, tapi itu di ruang privat, bukan di ruang publik.(X-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved