Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Surat Edaran Gubernur Sumbar Terkait Pelibatan TNI Harus Dicabut

Micom
08/3/2017 17:16
Surat Edaran Gubernur Sumbar Terkait Pelibatan TNI Harus Dicabut
(MI/Bary Fathahilah)

HUMAN Right Watch Group (HRWG) menyesalkan kemunculan Surat Edaran Gubernur Sumatera Barat tertanggal 6 Maret 2017 bernomor No.521/1984/Dintanhorbun/2017 tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi yang potensi digunakan untuk merampas tanah masyarakat secara sewenang-wenang, mengancam hak atas kepemilikan pribadi, serta adanya potensi pelibatan militer pada operasi non-perang yang melanggar UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional (TNI) Indonesia dengan dalih swasembada pangan.

Menurut HRWG, upaya untuk memastikan penikmatan hak atas pangan dan kehidupan yang layak memang menjadi kewajiban negara, termasuk Pemerintah Daerah, namun pelaksanaan kewajiban itu tidak boleh dilakukan dengan cara memaksa masyarakat untuk bertani, bahkan memberikan ancaman adanya pengambilan lahan oleh militer dan UPT Kecamatan. Kebijakan Pemerintah seharusnya diarahkan untuk mendukung usaha tani yang telah dilakukan oleh masyarakat, dengan jaminan infrastruktur, fasilitas alat-alat pertanian, pupuk dan bibit yang murah dan mudah diakses, termasuk kebutuhan petani lainnya.

Selain itu, hak atas kepemilikan lahan atau tanah merupakan hak yang dijamin oleh Konstitusi, UU Pokok Agraria, dan sejumlah aturan yang lain. "Mengambil lahan secara paksa tanpa persetujuan bebas (free, prior and informed consent) dari warga negara dengan alasan lahan tersebut tidak ditanami merupakan tindakan sewenang-wenang oleh Negara dan melanggar jaminan hak atas tanah," ujar Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG, dalam rilisnya, Rabu (8/3).

Hafiz menambahkan, pemberian wewenang kepada TNI untuk masuk ke wilayah operasi non-perang bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menegaskan bahwa pelibatan TNI ini hanya dapat ditetapkan oleh Presiden, tidak oleh Pemerintah Daerah apalagi hanya melalui Surat Edaran. Kata dia, sejauh ini, Indonesia belum memiliki UU perbantuan militer yang seharusnya mengatur operasi non-perang, sehingga kewenangan yang diberikan hanya melalui Surat Edaran sangat potensial memunculkan dampak pelanggaran HAM.

Menurut dia, arahan SE untuk membuat perjanjian baru antara pengelola (UPR Kecamatan) dan Koramil semakin menguatkan pelanggaran terhadap UU TNI di atas, karena institusi pemerintahan di level kecamatan sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk meminta bantuan TNI dalam operasi non-perang, apalagi pertanian. Militer adalah kekuatan khusus yang dilatih untuk melumpuhkan dalam situasi perang, sehingga pelibatan militer dalam aktivitas sipil, apalagi terkait dengan pengambilalihan lahan, sangat potensial memunculkan kekerasan kepada petani atau pemilik lahan.

Oleh karena itu, HRWG mendesak Gubernur Sumatera Barat dan/atau Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut Surat Edaran No.521/1984/Dintanhorbun/2017 tersebut karena bertentangan dengan UU TNI atau aturan yang lebih tinggi lainnya.
Selain itu, menghentikan rencana tindak lanjut kerjasama antara pemerintah daerah di semua level, mulai dari kecamatan, kabupaten dan provinsi dengan Tentara Nasional Indonesia di semua level tersebut karena tidak memiliki dasar hukum.
"Kami juga mendesak Pemerintah Pusat memberikan peringatan kepada Pemerintah Daerah untuk menaati undang-undang tentang pelibatan militer tersebut untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM, termasuk pula membatasi instruksi perbantuan ini hanya terbatas pada keputusan dan penetapan Presiden," tegas Hafiz. RO/OL-2



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya