Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Parpol Mengabaikan Kaderisasi

Christian Dior Simbolon
02/2/2017 06:38
Parpol Mengabaikan Kaderisasi
(Grafis/Micom)

SISTEM rekrutmen dan kaderisasi partai politik selama ini tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, parpol miskin kader mumpuni untuk diusung menjadi calon pemimpin, termasuk calon kepala daerah. Fenomena calon tunggal merupakan bukti adanya krisis kader tersebut.

Demikian benang merah diskusi bertajuk Krisis Perka­deran dan Ikhtiar Penguatan Kelembagaan Partai Politik yang berlangsung di Akbar Tandjung Institute, Jakarta, kemarin. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut politikus PDIP Arif Wibowo, pengamat politik CSIS Phillip J Vermonte, dan peneliti senior LIPI Siti Zuhro.

Menurut Phillip, sebenarnya sirkulasi kepemimpinan parpol di daerah berjalan relatif lancar. Rata-rata ketua parpol tingkat provinsi dan kabupaten/kota ialah golong­an muda dengan rentang usia 40-50 tahun. Namun, kebanyakan berasal dari golongan pengusaha.

Di PDIP saja yang partai ideologi, menurut kajian CSIS, 57% ketua partai di daerah itu pengusaha. Wajar saja karena demokrasi kita mahal. Dalam sistem yang mahal itu, aktivis dan pekerja partai terpinggirkan. Jadi, tidak mengherankan kalau modal yang menguasai parpol,” ujarnya.

Ditambahkan Phillip, ‘keberpihakan’ parpol terhadap kader pebisnis tidak lepas dari kebutuhan agar mesin partai tetap berjalan dan memenangi kontestasi pemilu. Pasalnya dibutuhkan dana yang besar untuk memperkenalkan seorang calon kepala daerah ke publik.

Perhitungan parpol pun, lanjut Phillip, kerap hanya berbasis untung rugi dan menang kalah. “Sistem elektoral memaksa partai harus menang untuk bisa bertahan dan supaya partai punya ­akses terhadap sumber daya. Kaderisasi pun ditempatkan hanya sebatas bagaimana cara­nya memenangi pemilu.”

Stagnasi
Arif Wibowo mengakui pola pengaderan dalam rangka re­k­rutmen, pendidikan ideologi, dan kontinuitas kepemimpin­an mengalami stagnasi. Bahkan, parpol kerap dianggap melalaikan kaderisasi. Hal itu tecermin pada munculnya pimpinan berbagai lembaga politik dan publik yang diusulkan partai, tapi bukan kader partai itu sendiri.

“Partai terkesan tidak memiliki kader kompeten sehingga terpaksa harus mengusung calon pemimpin dari luar. Fenomena inilah kemudian yang dinilai sebagai gagalnya partai dalam rekrutmen dan pengaderan,” tegasnya.

Namun, Arif mengatakan kondisi tersebut tidak semata kesalahan parpol. Sistem demokrasi yang berkembang di Indonesia, khususnya pemilihan langsung dan pemilu legislatif dengan sistem proporsional terbuka, cenderung melanggengkan kondisi itu.

Dalam pemilihan langsung, urai Arif, ukuran masyarakat dalam memilih bukan lagi berbasis kemampuan kader yang telah teruji di internal partai, melainkan lebih kepada popularitas. Alhasil, banyak partai dalam pilkada lebih memilih calon dari luar yang popularitasnya tinggi.

“Meskipun belum teruji kemampuannya, jika dibandingkan dengan kader yang telah teruji tetapi tidak populer, mereka memilih yang populer. Dalam pemilu legislatif pun seperti itu. Kader-kader terbaik cenderung kalah ketika berhadapan dengan calon lain yang punya modal besar,” tukasnya.

Siti Zuhro menambahkan, parpol tidak boleh dibiarkan sendiri menghadapi sistem elektoral yang mahal. Tanpa sokongan pemerintah lewat pembenahan sistem dan bantuan kapital, kursi elite parpol bakal terus dikuasai pengusaha dan pemodal yang belum tentu kompeten.

“Karena itu, saya setuju parpol didanai pemerintah. Itu bisa jadi salah satu solusi. Tapi, syaratnya parpol harus mau diaudit. Harus ada penalti ketika dana itu salah urus. Ini juga untuk mencegah kader-kader partai korupsi untuk mendanai partai,” tegasnya. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik