Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
LEMBAGA Ketahanan Nasional berupaya mendekatkan diri kepada publik dengan melakukan beberapa terobosan. Masyarakat dan generasi penerus bangsa diharapkan bisa berpikir kritis untuk menjawab pelbagai tantangan. Namun, ditekankan pemikiran itu tetap berada dalam kerangka dan jalur nilai-nilai kebangsaan.
Berikut petikan wawancara Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dengan wartawan Media Indonesia Golda Eksa, di Gedung Lemhannas , Jakarta, Kamis (5/1).
Bagaimana Anda melihat kondisi Indonesia dan ketahanan yang dimiliki saat ini?
Untuk memahami kondisi saat ini tentang masyarakat dan bangsa secara umum, kita perlu melihat latar belakangnya. Saya lebih melihat dengan latar belakang sosiologis dan kultural. Budaya tradisional kita berdasarkan pada kekeluargaan, kebersamaan, komunitarianisme.
Kita cenderung selalu mencari figur pemimpin untuk memimpin dan memutuskan untuk kita, tetapi apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan dan kesalahan, itu ada sebuah lembaga atau seorang figur untuk dipersalahkan. Mengapa? Karena kita tidak terbiasa disadarkan akan tanggung jawab individual dalam kebersamaan.
Dalam demokrasi juga kita masih berharap mendapat pemimpin yang sempurna. Padahal di dalam demokrasi tidak pernah menjanjikan pemimpin yang sempurna. Sadarkah kita demokrasi harus berpihak antara kompetensi dan kesempurnaan pemimpin dengan popularitas pemimpin. Demokrasi akan berpihak pada popularitas.
Karena roh demokrasi itu kedaulatan rakyat. Jadi, yang namanya pemilu itu bukan adu pintar, bukan adu kompetensi, tapi adu popularitas. Inilah yang belum tertangkap oleh kita sehingga kita selalu kecewa dan kecewa.
Sejauh ini ada di mana posisi Lemhannas dalam peta keindonesiaan?
Lemhannas memiliki peran untuk memberikan sumbangan di berbagai bidang yang mempunyai arti dominan dalam mengembangkan nilai-nilai kebangsaan, seperti konsensus dasar yang terdiri dari Pancasila, UUD' 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika melalui dua doktrin operasionalnya, yaitu wawasan Nusantara dan ketahanan nasional.
Lemhannas juga berfungsi dalam tiga dimensi. Pertama, menyelenggarakan pendidikan bagi pimpinan tingkat nasional, berikutnya melakukan kajian strategis tentang masalah-masalah strategis kebangsaan. Terakhir, untuk membina, mengembangkan, serta menyebarluaskan nilai-nilai kebangsaan. Bidang-bidang itu merupakan bidang yang diharapkan dan seharusnya menjadi skup kehidupan kita di dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat secara nasional.
Adakah upaya Lemhannas untuk mendekatkan diri dengan publik. Ingin seperti apa Lemhannas itu dicitrakan di mata publik?
Pertama, kita menjangkau masyarakat secara proaktif dan bukan saja menunggu atau dipusatkan di Lemhannas di Jakarta, tapi kita perlu aktif menjangkau ke tempat-tempat pemangku kepentingan itu berfungsi.
Berikutnya, kita memperbarui dengan cara agar apa yang kita sampaikan dalam bentuk pertemuan dengan pemangku kepentingan itu tidak bersifat satu arah dan indoktrinatif, tetapi juga sudah merupakan bentuk wacana untuk bisa menangkap bagaimana pendapat dari pemangku kepentingan itu tentang doktrin atau nilai-nilai kebangsaan. Misalnya, mengapa Pancasila ketika dibandingkan dengan masa lalu kurang berarti keberadaannya, mengapa akhir-akhir ini terjadi dinamika yang berlebihan dan dirasakan dapat mengancam tentang kebinekaan.
Tantangan apa yang sebenarnya perlu diwaspadai publik dan pemegang kebijakan negeri ini terkait isu ketahanan negara?
Pertama, merupakan kesepakatan bangsa dulu tentang bentuk negeri Indonesia semacam apa yang kita visualisasikan untuk kita diami secara bersama-sama dan dalam bentuk perbedaan-perbedaannya. Karena sifat masyarakat kita yang sudah bineka, tapi kita bisa menghargai tentang perbedaan tersebut dan saling berbeda.
Kalaupun kita anggap itu sudah disepakati dalam proses pembentukan negara oleh para pendiri bangsa pada 1945, mari kita mengenang kembali apa sebetulnya yang sudah disumbangkan pendiri bangsa pada 1945, dan apakah kita juga menempatkan diri sebagai bagian pada komitmen dan konsensus dasar tersebut.
Kedua, bagaimana caranya untuk kita sepakati cara mengatur hubungan antara kita dan untuk memilih pemerintahan. Kita memiliki sekitar 250 juta masyarakat Indonesia dan masing-masing pasti punya pendapat sendiri. Kita harus konsisten kita telah menyepakati dan komitmen dengan tata cara perundangan-undangan sistem politik. Itu kesepakatan kita bersama dan bukan merupakan keputusan salah satu pihak.
Ketiga, kita berada pada masa transisi kultural di samping dari ciri-ciri sistem politik di mana suara pemilihan untuk mendapatkan keabsahan mewakili rakyat datang dari bawah, tetapi juga dalam masa transisi adalah penting untuk membangun dan mengefektifkan sistim nasional.
Tujuannya agar kita cepat melihat bahwa demokrasi itu bisa melampaui masa transisionalnya untuk memasuki masa konsolidasi demokrasi, dan bergeser dari demokrasi prosedural menuju demokrasi yang substantif.
Anda dikenal punya langkah progresif melawan kondisi mainstream, sejauh mana implementasinya dalam kelembagaan Lemhannas?
Saya hanya meneruskan kebijakan-kebijakan yang sudah diletakan gubernur-gubernur sebelumnya dan saya sangat menghargai, apalagi gubernur dari generasi pendiri pada saat-saat awal.
Untuk mengefektifkan program-program yang ada di Lemhannas, saya mencoba menghubungkan apa yang ada pada sebuah atau kaidah-kaidah yang ada pada sebuah proses dalam fungsi-fungsi yang dimiliki Lemhannas. Seperti, fungsi pendidikan, pengkajian dan fungsi penyebarluasan, dan pengembangan dari nilai-nilai kebangsaan.
Lemhannas justru mengajak para peserta itu untuk bisa berpikir baik dan benar dan bisa menggunakan cara berpikir secara konstruktif untuk memecahkan masalah-masalah kebangsaan. Untuk itu kita masukan bagaimana peserta itu bisa mempunyai kemampuan berpikir kritis guna menjawab segala tantangan, tetapi tetap di dalam kerangka dan jalur nilai-nilai kebangsaan.
Dalam refleksi Anda, apa yang membuat Anda bisa meraih pencapaian dan karier seperti saat ini. Apakah pencapaian itu terkait penilaian orang yang menyebut Anda tipe pemikir?
Sederhana saja, mungkin saya terbiasa menggunakan alat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa yaitu logika pemikiran. Kemudian hati, mungkin intuisi untuk mengukur segala sesuatu. Mengapa begitu? Karena kultur kita itu lebih berorientasi kepada penyesuaian sepanjang hidup yang diajarkan. Ada pusat-pusat kebenaran yang harus dihargai. Contoh, ketika di dalam keluarga, pusat kebenaran itu kepala keluarga, ayah. Kalau kepala keluarga sudah memutuskan paling tidak anak-anaknya menerima putusan itu. Sementara di sekolah perbedaan itu adalah guru, karena guru tidak suka jika ada murid lebih pintar. Itu kultur dasar.
Apa harapan Anda buat anak-anak muda Indonesia dalam konteks tugas yang Anda emban saat ini, seperti mencegah indoktrinasi yang menyesatkan?
Untuk memahami kondisi sekarang dan apa yang diperlukan di masa mendatang, kita harus memahami dan mempelajari sejarah. Contoh, Dwi Fungsi ABRI itu bukan karena ABRI haus kekuasaan. Doktrin Dwi Fungsi ABRI itu berangkat dari sejarah perjuangan bangsa dengan para ABRI yang dimainkan di dalamnya.
Konteks itu penting ketika untuk menjawab kembali jawaban terhadap pertanyaan 'mengapa'. Jadi, dalam mempelajari sejarah kita jangan hanya menghafal 'apa', 'siapa', 'di mana', dan 'bilamana'. Tetapi ingat untuk memahami konteks itu kita harus sama tanyakan 'mengapa' dan 'bagaimana'.
Pertanyaan-pertanyaan kritis itu harus ditanyakan pada generasi muda yang akan melesat sebagai anak panah di masa depan. Yang akan menjalani masa depan bukan kami, tetapi generasi muda dan mereka harus bersiap untuk itu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved