Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Pengamat Apresiasi Rumah Lembang Pengawal Kebinekaan

Micom
05/1/2017 23:45
Pengamat Apresiasi Rumah Lembang Pengawal Kebinekaan
(MI/Galih Pradipta)

GURU Besar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengapresiasi keberadaan Rumah Lembang untuk mengawal demokrasi dan keberagaman melalui perjuangan untuk kepentingan semua, tidak hanya untuk calon Gubernur DKI Jakarta yang juga petahana, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Saya mengapresiasi betul perjuangan yang dilakukan Rumah Lembang untuk menjaga kepentingan keberagaman semua dan bukan hanya kepentingan Ahok semata. Diskusi publik yang selalu digalang Rumah Lembang, untuk warga dengan pakar dan penasihat hukum di Rumah Lembang ini, bukan hanya untuk kepentingan Ahok semata, tetapi mengawal hukum dan demokrasi di Indonesia," jelas Syamsuddin.

Dia meminta partisipasi masyarakat untuk menolak setiap upaya menggagalkan demokrasi yang fondasinya dibangun oleh founding fathers di atas kemajemukan. Jika tidak ditolak, kata dia, Indonesia tidak hanya kehilangan Basuki Tjahaja Purnama dan demokrasi, tetapi juga berdampak pada hancurnya bangsa Indonesia.

"Tidak ada Indonesia tanpa keberagaman. Sebab, bagaimana pun keberagaman adalah salah satu fondasi bangsa kita. Untuk itu, atas nama apa pun, upaya mencederai pluralisme harus kita tolak," ujar Syamsuddin di Rumah Lembang Jakarta, Kamis (5/1).

Pengamat politik ini mengapresiasi keberadaan Rumah Lembang. Perjuangan yang digalang Rumah Lembang, termasuk penasihat hukum di Rumah Lembang ini, bukan hanya untuk kepentingan Ahok semata, tetapi mengawal hukum dan demokrasi di Indonesia.

"Saya mengapresiasi betul perjuangan itu untuk kepentingan kita semua dan bukan hanya kepentingan Ahok semata," terangnya.

Menurutnya, proses pengadilan ini menjadi momen bagi anak bangsa untuk memaknai proses hukum di Indonesia. Hal ini sekaligus menjadi ujian apakah politik, hukum, dan demokrasi di negeri ini ditentukan oleh tekanan massa atau oleh akal sehat.

"Kalau kemudian, pengadilan, hukum, politik, dan demokrasi ditentukan oleh tekanan massa, maka saya katakan dampaknya bukan saja Ahok gagal menjadi Gubernur DKI Jakarta, tetapi hancurnya komitmen kebangsaan kita sebagaimana diletakan oleh founding fathers pada periode 1945 atau pun sebelumnya," tegasnya.

Karena itu, Syamsuddin berpendapat bahwa dalam situasi di mana pengadilan tidak lebih sebagai rekayasa untuk menjegal Ahok tampil kembali sebagai cagub maka masyarakat harus melakukan sesuatu.

"Sesuatu itu bisa melalui tulisan atau apa pun yang bisa kita lakukan. Walaupun itu tidak mudah di zaman media sosial ini," imbuhnya.

Sebab, sebagian dari masyarakat Indonesia belakangan ini tiba-tiba menjadi paranoid.

"Sebagian teman kita tidak begitu waras melihat realitas politik dan hukum. Tiba-tiba kita dikejutkan oleh kolega kita yang merasa lebih Islam dari kita. Padahal, islami atau tidak, itu otoritas Tuhan. Hak Tuhan untuk mengatakan Anda lebih islami atau lebih kafir ketimbang yang lain," tuturnya.

Dia menegaskan, pengadilan terhadap Ahok ini sangat serius. Sebab pengadilan ini menjadi ujian terhadap esensi keindonesiaan yang berfondasikan keberagaman.

"Dalam mengawal Indonesia, sebaiknya kita tidak mudah kalah. Biarkan dicaci maki, silakan. Puas-puaskan mem-bully kita. Namun, kita tetap berjuang untuk Indonesia yang majemuk," tegasnya.

Apalagi, negara hukum yang menjadi cita pendiri bangsa ini, bukan dalam artian ‘law’, tetapi ‘recht’.

"Jadi, hukum yang berbasis keadilan dan bukan hukum berbasis pada yuridis formil yang belum tentu menciptakan keadilan," imbuhnya.

Profesor Riset LIPI ini menyakini, Ahok tidak melakukan penistaan agama. Karena itu, jangan sepenggal-penggal mengutip ucapan Ahok.

"Tidak ada niat di sana. Kalau kita ikuti secara utuh apa yang disampaikan Ahok di Kepulauan Seribu sama sekali nggak ada niat. Untuk itu, jangan pula dibaca dengan nada 'sumbu pendek', emosional, prasangka, dan kebencian atau secara negatif," tegasnya.

"Nggak mungkin Ahok melakukan itu. Ahok politisi yang memulai dari bawah. Dia pasti tahu, sebagai minoritas hidup dalam perpolitikan mayoritas. Jadi, kita pakai akal sehat saja. Selesai itu," urainya.

Karena itu, perlu ada upaya kolektif untuk mengawal semua ini. Sebab inilah pengadilan politik untuk menjegal Ahok.

"Nggak ada yang lain. Nggak ada urusan dengan penodaaan agama. Ini adalah upaya atau rekayasa untuk menjegal Ahok menjadi gubernur kembali," urainya.

Indikasinya, lanjut Syamsuddin, dengan penetapan Ahok sebagai tersangka oleh polisi di bawah tekanan.

"Pengadilan terhadap Ahok dan dakwaan jaksa juga dilakukan dibawah tekanan, baik aksi 411 maupun aksi 212. Oleh sebab itu, pengadilan ini tidak benar sejak awal," katanya.

Dia berharap majelis hakim tidak seperti polisi ataupun jaksa yang tunduk begitu saja pada pengadilan jalanan.

"Kalau segala sesuatu, proses politik atau hukum ditekan melalui pengadilan jalanan maka tidak ada lagi demokrasi. Yang ada adalah anarki. Jadi salah kalau ada yang mengatakan kita mengawal Ahok. Bukan, tetapi kita mengawal Indonesia," ucapnya.

Lebih lanjut dia berharap agar jangan membiarkan anarki mendominasi perpolitikan bangsa ini. Sebab, perjuangan menegakan hukum dan demokrasi ini bukan tanpa pengorbanan. (RO/OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya