PEMERINTAH akan menindak keras pihak-pihak yang menyebarkan berita bohong (hoax) di jagat maya. Untuk itu, pemerintah segera mengevaluasi media-media daring yang sengaja memproduksi berita bohong tanpa sumber jelas dengan judul provokatif dan mengandung fitnah.
Demikian arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas antisipasi perkembangan media sosial di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin (Kamis, 29/12).
"Akhir-akhir ini banyak berseliweran informasi meresahkan dan mengadu domba. Muncul ujaran kebencian dan pernyataan kasar. Bukan budaya kita, habis energi kita untuk ini. Penegakan hukum harus tegas dan keras," kata Jokowi.
Di sisi lain, Kepala Negara mengajak masyarakat melakukan gerakan masif dengan memberikan literasi, edukasi, menjaga etika, dan menjaga keadaban dalam bermedia sosial. "Netizen diajak mengampanyekan bagaimana berkomunikasi melalui media sosial dengan baik, beretika, positif, produktif, dan berbasis nilai budaya kita."
Presiden memaparkan di Indonesia ada sekitar 132 juta pengguna internet aktif atau 52% dari jumlah populasi. Dari jumlah tersebut, sekitar 129 juta memiliki akun media sosial aktif yang rata-rata menghabiskan 3,5 jam per hari untuk berselancar di internet melalui telepon seluler.
Menkominfo Rudiantara menambahkan Presiden punya toleransi terhadap dunia maya. "Tapi lama-lama gerah. Ya, enggak bisa begini terus."
Dia mencontohkan merebaknya isu pekerja Tiongkok yang disebut 10 juta orang. Padahal hanya 21 ribu. "Saya tahu karena saya yang membuat data integrity. Saya tahu persis berapa."
Rudiantara memastikan pihak yang mengunggah konten negatif dijerat UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Bisa dijerat KUHP bila menebarkan kebencian."
Tidak kompeten
Peneliti senior di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto menyatakan pihaknya menemukan pola produksi berita yang menyesatkan. Itu dimulai dari berita media kredibel, tetapi dengan data kurang akurat. Berita itu kemudian disontek media abal-abal untuk kemudian dipelintir dengan judul sangat menggoda.
"Banyak berita hoax menampilkan judul too good to be true. Ini penanda untuk menghindari baca dan percaya berita hoax," ujar Haryanto.
Dia mencontohkannya kasus 10 juta pekerja Tiongkok yang dapat ditelusuri dari berita Kabar 24, grup Bisnis Indonesia, berjudul 'RI-China Sepakati Pertukaran 10 Juta Warga' pada 27 Mei 2015.
Isinya, pernyataan Wakil PM Tiongkok Liu Yandong tentang kerja sama lewat pertukaran warga di bidang pendidikan, iptek, budaya, media, pemuda, pariwisata, think tank, dan agama.
Pada Februari 2016, lanjut Haryanto, ada berita Kementerian Pariwisata menargetkan 10 juta wisatawan Tiongkok bekerja sama dengan Baidu muncul di media-media arus utama.
Menurut Haryanto, ketika muncul isu tenaga kerja asal Tiongkok yang bertepatan dengan kampanye pilkada serentak 2017, media abal-abal mengutipnya dengan menambahkan narasumber tidak kompeten. Contohnya, Intelejen.com (tanpa tanggal jelas) dan Jurnalmuslim.com (2/6/2016).
Keduanya memuat berita pelintiran berjudul 'Jokowi akan Impor 10 Juta Warga Cina, Mau Beranak-pinak di Indonesia?' dengan isi yang sama persis. Narasumbernya kicauan Zara Zettira, penulis skenario sinetron, di media sosial Twitter.
"Harus dipertanyakan juga datanya dari mana? Dia (Zara) sedang menulis fakta atau fiksi?" tandas Haryanto.(Kim/Mtvn/X-3)