Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
PENUNTASAN terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu menuju rekonsiliasi tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu jenis solusi. Dibutuhkan solusi komprehensif dan membutuhkan kearifan semua pihak yang terlibat.
"Rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah harus mengungkap proses pelanggaran HAM. Harus dicari penyebabnya, siapa pelakunya, dan berapa korban agar bangsa kita tak berangkat dari fondasi yang simpang siur," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma dalam diskusi yang digelar Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ), di Jakarta, kemarin.
Feri menegaskan rekonsiliasi bukan sekadar membebaskan orang dari hukum dan memberikan amnesti.
"Luka masa silam disembuhkan ketika kebenaran diungkap," ujarnya.
Menurut Feri, Kejaksaan Agung seharusnya melakukan proses yudisial, seperti tindakan penyidikan.
Alasannya, pilihan penyelesaian dengan langkah nonyudisial harus mengacu pada produk akhir proses yudisial.
Jika hasil penyidikan kejaksaan tidak cukup bukti, ucapnya, bisa dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan.
Kemudian, jika proses di peradilan pihak yang bertanggung jawab diketahui sudah meninggal sehingga tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya, atas nama negara Presiden akan mengambil prakarsa rekonsiliasi.
"Jadi, kalaupun ada rekonsiliasi, harus ada pengadilan ad hoc untuk mengungkap fakta sebenarnya. Tidak bisa pelakunya langsung diamnesti begitu saja," tegasnya.
Feri juga meminta Kejagung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM sejak 2002-2012 yang selama ini terbengkalai.
Perlu komitmen
Pada kesempatan yang sama, dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta Getah Ester mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu hanya dapat diselesaikan jika ada political will dari pemerintah.
Selama ini, menurut dia, penyelesaian kasus-kasus HAM kerap tersendat lantaran rendahnya komitmen pemerintah.
Ia mengingatkan, yang terpenting dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM ialah keadilan bagi korban, bukan atas motif politik tertentu.
Pemerintah memutuskan sebanyak enam kasus dugaan pelanggaran berat HAM masa lalu diselesaikan dengan pendekatan nonyudisial.
Enam kasus itu ialah peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; Talangsari di Lampung (1989); penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Menurut Koordinator Bidang Strategia GMHJ, Helena Primsa Ginting, sebaiknya semua pihak mendorong generasi muda sebagai agen perubahan yang peduli terhadap persoalan HAM.
Dia menilai, saat ini yang terjadi ialah sebaliknya, benih-benih kesadaran perihal HAM kurang tertanam pada generasi muda.
Sangat ironis, ucap Helena, persoalan HAM hanya menjadi perhatian segelintir orang yang peduli.
Padahal, masalah HAM tersebut seharusnya ditangani bersama-sama oleh semua pihak.
Selain itu, kesadaran akan pentingnya HAM perlu ditingkatkan mengingat hal tersebut merupakan langkah awal merawat demokrasi.
(Pol/P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved