Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
MASYARAKAT di perbatasan membutuhkan perhatian pemerintah segera meskipun pembangunan 3.094,26 km perbatasan darat Indonesia dengan tiga negara sedang berjalan. Usaha keras diperlukan demi perubahan pola pikir birokrat dan masyarakat, negosiasi batas wilayah, dan pembangunan infrastruktur. Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Hadi Prabowo mengakui kabar yang selama ini mencuat terkait dengan dugaan upaya pencaplokan wilayah yang dilakukan Malaysia tidak benar. Selain adanya komitmen negeri jiran untuk terus melanjutkan negosiasi dengan Indonesia, pencaplokan wilayah itu sulit diterapkan secara nyata di lapangan.
"Di wilayah kan kadang ada yang menjadikannya sebagai isu politik. Namun, kita paham, mereka butuh perhatian. Ini kita terus berusaha," katanya. Perhatian yang diinginkan warga perbatasan terutama terkait dengan kebutuhan dasar. Karena itu, Hadi memandang wajar kala warga Lumbis Ogong, unukan, Kalimantan Utara, yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia, menyambut gembira semacam bantuan langsung tunai dari pemerintah Malaysia senilai sekitar Rp900 ribu per bulan. Hal yang sama terjadi dengan pemberian kartu tanda penduduk Malaysia kepada WNI di perbatasan.
Baginya, itu dilakukan demi keperluan bekerja warga. Hadi meyakini itu tak membuat warga setempat memalingkan muka dari Indonesia. Dia juga enggan berandai-andai upaya Malaysia itu merupakan investasi politik untuk mencaplok wilayah Indonesia. "Mereka (penduduk Lumbis Ogong) jiwa nasionalisnya tinggi. Waktu konfrontasi dengan Malaysia itu dia pahlawan kita, tapi ya kita paham kebutuhan perut kan ya maklumlah," aku Hadi. Menurutnya, alotnya penentuan perbatasan definitif itu terkait dengan sejumlah masalah. Pertama, perbedaan batas wilayah antara perjanjian historis dan kondisi lapangan. Contohnya di perbatasan darat Indonesia-Malaysia.
Lantaran Indonesia dan Malaysia merupakan bekas jajahan Belanda dan Inggris, batas awal kedua negara pun mengacu ke perjanjian dua negara eropa dalam membagi wilayah koloni mereka itu, yakni perjanjian 1891, perjanjian 1915, dan perjanjian 1928. Nahasnya, ada perbedaan penempatan patok batas wilayah dengan titik koordinat yang ditetapkan dalam tiga perjanjian itu. Keterbatasan teknologi dan hambatan alam jadi penyebabnya. Persoalan itu jadi salah satu pembahasan perundingan batas wilayah sejauh ini. Kedua, persoalan klaim tanah adat atau ulayat warga lokal.
Itu terjadi dalam penentuan batas wilayah antara Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Terlepas dari itu, BNPP, sebagai pihak yang mengoordinasi rencana pembangunan di perbatasan, terus berusaha menempatkan program terbaik bagi warga perbatasan. Infrastruktur jadi andalan. Misalnya, pembangunan menara seluler (BTS), pos lintas batas negara (PLBN), jalan raya, bandara, dan listrik. Tak hanya itu, aspek pemberdayaan masyarakat pun dijalankan. Menko Polhukam Wiranto menyatakan pembangunan perbatasan dan daerah pinggiran sudah jadi keseriusan Pemerintahan Jokowi-JK. Ini jadi bagian dari visi Nawa Cita.
Namun, dibutuhkan waktu untuk mengubah paradigma pembangunan perbatasan dari yang sebelumnya berkonsep pertahanan (inward looking) menjadi berkonsep pembangunan kesejahteraan (outward looking). "Kenapa tidak dari dulu-dulu? Tidak ada istilah terlambat. Justru kita harus syukuri kita sadar. Sekarang kita sudah pasti paham. Pembangunan ini on the right track," cetus dia. Anggota Komisi II DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan pembangunan wilayah perbatasan belum menyentuh masyarakat di desa-desa Indonesia yang benar-benar terisolasi. Pembangunan masih menjadi milik kawasan pusat keramaian. Alhasil, dana besar yang sudah digelontorkan untuk perbatasan belum memecahkan masalah ketergantungan WNI di perbatasan kepada negara tetangga, terutama dalam hal perekonomian.
Diapresiasi
Wacana pemerintah untuk melakukan pembangunan di sejumlah wilayah perbatasan di Tanah Air patut diapresiasi. Selama ini wilayah perbatasan kurang mendapat perhatian sehingga rentan terhadap ancaman dari pihak luar. Namun, hal yang terpenting ialah kerja nyata yang bersifat terobosan dan percepatan demi mengubah wajah perbatasan yang selama ini dikenal dengan keterisolasian dan keterbelakangan menjadi beranda depan negara Republik Indonesia. Saat ini ada dua hal utama yang menjadi perhatian pemerintah, yaitu infrastruktur dasar dan peningkatan kualitas SDM.
"Untuk itu, tidak bisa dilaksanakan secara parsial atau sektoral, harus melibatkan seluruh unsur negara ini secara terpadu, baik itu pusat maupun daerah" kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang juga Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Kehadiran PLBN Entikong yang disebut-sebut sebagai PLBN terbesar di Indonesia ini bisa menggambarkan kedaulatan Indonesia. PLBN Entikong nantinya akan lebih besar dan megah ketimbang milik Malaysia. "Ini sudah 85% pengerjaan. Ini harus lebih besar daripada tetangga (Malaysia), infrastrukturnya harus bagus, bagaimana pun ini bisa meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat perbatasan di Indonesia," kata Tjahjo. PLBN yang mulai dibangun pada 2015 itu hanya terpaut sekitar 500 meter dari Pos Imigrasi Malaysia.
Beberapa hal yang menjadi catatan ialah kualitas pelayanan pada pos kesehatan, keimigrasian, serta pos Bea Cukai. "Saya lihat petugas di karantina kesehatan ada satu dokter dan lima pegawai, itu sangat kurang. Lalu petugas imigrasi juga perlu ditambah, yang terpenting itu berikan pelayanan baik, cepat, dan tentu ketat itu penting, tidak ada pungutan macam-macam," ujar Tjahjo. Tjahjo juga meminta agar jalan menuju PLBN Entikong diperlebar agar mempermudah akses keluar masuk. Beberapa titik ruas jalan dari Kota Pontianak menuju Entikong memang masih ada yang belum diaspal.
"Ini sudah bagus, dua tahun lalu dari Pontianak ke sini 8 jam, sekarang sudah 4 sampai 5 jam. Ini kemajuan," lanjutnya. Tak hanya itu, di masa depan, di PLBN itu akan dibangun pasar tematik. Pasar itu diharapkan bisa mendongkrak perekonomian warga Entikong karena selama ini warga memilih pergi ke Malaysia untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara juga menjanjikan akses komunikasi di Entikong juga akan dipermudah dengan pembangunan menara base transceiver station (BTS). "Ini kami akan buat fiber optiknya, dan akan bangun BTS. Di Kalimantan Barat ada 30 BTS pembangunan, 22 sudah on air," kata Rudi.
Sudah maksimal
Pengamat kebijakan ekonomi Revrisond Baswir mengatakan apa yang dilakukan pemerintahan selama dua tahun terakhir sudah merupakan upaya maksimal yang dilakukan negara, terutama dengan keseriusan pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran, dari pulau-pulau terluar, dari daerah perbatasan, dan dari kawasan Indonesia Timur, terutama Papua yang boleh dikatakan masih sebatas menikmati 'Indonesia' dalam makna kesatuan teritorial (NKRI) belaka, tapi belum menikmatinya dalam makna keadilan dan kesejahteraan.
"Intinya pelaksanaan pembangunan tidak boleh lagi Jawasentris, tapi Indonesiasentris. Sejauh ini tampak sudah dilaksanakan. Bahkan, sampai Papua dan pulau-pulau terluar. Jelas, perhatian meningkat, dibuktikan dengan tindakan nyata," kata Revrisond. Pengamat hubungan internasional dari Universitas Bina Nusantara Tirta Mursitama menambahkan pembangunan wilayah perbatasan merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap warga negara Indonesia (WNI). "Rencana itu kita harus melihatnya dalam kerangka negara hadir karena selama ini daerah perbatasan itu paling diabaikan. Contoh Entikong di Kalimantan Barat, dan dibanyak tempat lain," ujarnya. (Mal/Gol/Pol/Nov/P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved