Eks Narapidana Dapat Mencalonkan Diri

Indriyani Astuti
10/7/2015 00:00
Eks Narapidana Dapat Mencalonkan Diri
(MI/SUSANTO)
MANTAN narapidana dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah asalkan dia meng-akui di depan umum bahwa dirinya pernah dipidana.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menganulir Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 /2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang memuat larangan bagi mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada.

Menurut MK, ada perbedaan antara norma pada pasal 7 huruf g dan penjelasannya.

Permohonan pengujian itu diajukan oleh Jumanto yang ingin mencalonkan diri sebagai Bupati Purbalingga dan Fathor Rasyid yang berniat menjadi bupati di Kabupaten Situbondo.

Keduanya merupakan mantan narapidana.

"Menurut mahkamah, ketentuan tersebut bentuk pengurangan hak atas sese-orang. Pencabutan hak pilih seseorang ditetapkan oleh hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-undang tidak boleh mencabut hak pilih seseorang," ujar hakim konstitusi Patrialis Akbar membacakan keterangan majelis hakim, kemarin.

MK menganggap bila undang-undang membatasi hak narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sama saja telah memberikan hukuman tambahan kepada yang bersangkutan, sedangkan UUD melarang perlakuan diskriminatif kepada warganya.

Pasal 7 huruf g UU Pilkada menyebutkan warga negara Indonesia bisa mengajukan diri sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah jika memenuhi syarat... (g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 tahun penjara.

Dari sembilan majelis hakim yang diketuai Arief Hidayat, dengan anggota Anwar Usman, Patrialis Akbar, Manahan Sitompul, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, I Gede Dewa Palguna, Maria Farida, dan Suhartoyo, tiga hakim berbeda pendapat, yaitu I Gede Dewa Palguna, Maria Farida, dan Suhartoyo.

KPK kecam

Sehari sebelumnya, MK juga memutuskan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait dengan syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana, bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUD 1945.

Putusan MK itu mendapatkan banyak kecaman, salah satunya dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menilai putusan MK mengabulkan petahana kembali ikut pilkada menghadang semangat pemberantasan korupsi.

Pasalnya dalam catatan KPK, petahana yang kembali berkuasa membuka potensi korupsi.

"Soal potensi korupsi terhadap dinasti politik itu sangat memungkinkan dan itu berdasarkan praktik empiris," terangnya saat dihubungi, kemarin.

Ia menjelaskan KPK menolak keras putusan MK tersebut karena tidak senapas dengan kinerja dan tujuan KPK.

KPK mencatat potensi korupsi banyak dilakukan dengan politik dinasti.

"Potensi korupsi dari politik dinasti di antaranya terbukti seperti kasus Gubernur Banten (Ratu Atut Chosiyah), lalu dugaan Bupati Empat Lawang (Rudi Antony)," ujarnya. (Cah/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya