Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
Persoalan defisit dana jaminan sosial (DJS) Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan, sepertinya sudah menjadi penyakit kronis yang tidak sembuh-sembuh. Defisit itu diibaratkian pasien yang sempat masuk unit gawat darurat (UGD) lalu diinfus dengan cairan 'tembakau'. Pasien dinyatakan sembuh tapi berjalan sempoyongan keluar dari rumah sakit.
Hal tersebut mengupamakan kondisi BPJS Kesehatan saat ini. Ratusan juta rakyat sudah dijamin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui Program JKN, tetapi BPJS Kesehatan itu sendiri sejak 2014 menderita penyakit permanen yakni 'defisit'.
Sejatinya yang harus dibenahi adalah manajemen BPJS Kesehatan dalam mengelola uang rakyat yang dibayarkan sebagai premi kepesertaan BPJS Kesehatan, baik yang berasal dari APBN, APBD, maupun iuran Mandiri.
Pembayaran kapitasi ke pemerintah daerah (pemda) sebesar Rp. 2,5 triliun. Hal tersebut seharusnya tidak lagi harus diberikan ke pada pemda tapi lebih dimanfaatkan untuk pelayanan kepada pasien. Apalagi disetiap APBD masing masing daerah sudah ada pos anggaran untuk belanja sektor kesehatan, begitu juga di APBN.
"Jadi sebaiknya pemberian dana kapitasi kepada pemda dihapus saja karena pemborosan terhadap dana pengelolaan jaminan kesehatan" ungkap Prof Dr H Dailami Firdaus, anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta.
Bang Dailami, sapaan akrab Dailami Firdaus, menambahkan. selain dana kapitasi, banyak rumah sakit yang tidak sesuai antara tipe rumah sakitnya dengan fasilitas yang dimiliki.
"Ada rumah sakit tipe C tapi fasilitas yang dimiliki tidak sesuai dengan tipenya" papar Bang Dailami yang juga ketua dewan pembina Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia).
Menurut Bang Dailami, diketemukan ada lebih dari 600 rumah sakit dengan nilai lebih bayar sekitar lebih dari Rp800 miliar.
"Ini jelas pemborosan, sehingga kemenkes harus memperketat pengawasan terhadap akreditasi rumah sakit agar besarnya pembayaran biaya pengobatan yang dibayar BPJS Kesehatan sesuai dengan tipe rumah sakit," ujarnya.
Bang Dailami menyanyangkan rencana pemerintah menaikan iuran bagi peserta, karena itu bukanlah solusi yang menyelesaikan masalah.
"Justru akan menimbulkan masalah yang baru. Karena akan menjadi beban biaya hidup masyarakat ditengah penghasilan masyarakat yang tidak bertambah" tegas Bang Dailami.
Meski demikian, dirinya juga mengakui ada ketidakpatuhan peserta membayar iuran premi BPJS Kesehatan, khususnya pada peserta bukan penerima upah (PBPU) dengan hanya 51% yang membayar secara rutin.
"Dari kondisi itu bisa kita lihat ditengah kemalasan peserta PBPU membayar iuran. Bila premi dinaikan, akan semakin besar lagi peserta PBPU yang akan membayar rutin" ujar Bang Dailami.
Ketidakpatuhan tersebut lebih disebabkan karena pelayanan kesehatan yang mereka terima di RS tidak memuaskan. Banyak peserta yang masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
Bang Dailami juga menyoroti soal kenaikan tunjangan jajaran dewan pengawas (dewas) dan direksi BPJS kesehatan. Di tengah amburadulnya BPJS Kesehatan yang terus defisit, pemerintah malah membuat keputusan konyol dengan menaikan tunjangan bagi dewas dan direksi BPJS Kesehatan.
Dalam ketentuan yang baru yakni PMK No.112/PMK.02/2019 yang merupakan perubahan dari beleid terdahulu, pemberian tunjangan bisa dua kali gaji atau upah yang diterima oleh anggota dewan pengawas dan anggota dewan direksi.
"Saya rasa ini kebijakan konyol, ditengah defisitnya BPJS dan kita semua sedang memikirkan solusinya. Malah tunjangan dewas dan direksi BPJS akan dinaikan dua kali lipat" tegas Bang Dailami.(OL-09)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved