Timsus HAM Kejagung Terganjal Undang-Undang

Tri Subarkah
27/2/2021 09:45
Timsus HAM Kejagung Terganjal Undang-Undang
Ilustrasi -- Kantor Kejagung.(MI/Pius Erlangga)

JAKSA Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidus) mengungkap Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat telah melaporkan hasil inventarisasi masalah kepada Jaksa Agung. Saat ini, tim sedang menunggu petunjuk dari Sanitiar Burhanuddin.

Salah satu pokok yang menjadi laporan tim, kata Ali, adalah masalah yang terdapat dalam Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Regulasi tersebut selama ini dinilai sebagai ganjalan penyelesaian proses penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Komnas HAM dan Kejagung.

Baca juga: Gubernur Sulsel Kena OTT, KPK Amankan Uang 1 Koper

"Di Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, kan ini bolak balik antara Komnas HAM dan kita karena di UU itu tidak disebutkan tata cara penghentian penyelidikan. Kalau memang nggak cukup bukti, penyelidikannya seperti apa penghentiannya," ujar Ali di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Jumat (26/2).

"Selama ini kan Komnas HAM juga nggak mau menghentikan penyelidikan, apa karena itu nggak diatur di sana? Kita analisa," sambungnya.

Menurut Ali, tindak lanjut dari persoalan itu akan dibicarakan pimpinan Kejagung dengan Menteri Koordintor Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Disinggung soal kemungkinan revisi beleid pada UU No. 26/2000, Ali menyerahkannya ke pemerintah.

"Masalah revisi ini kan pemerintah. Nah ini ada persoalan ini, kan kita membuat kajian. Paling tidak mencari problematika, kenapa sih, yang menjadi hambatan-hambatan ini apa?" terang Ali.

Sejauh ini, ada 13 kasus dugaan pelanggaran HAM yang penyelesaiannya masih mangkrak. Kendati demikian, Ali menyebut Timsus HAM Kejagung juga mengkaji 3 kasus lain yang telah dibawa ke meja hijau.

"Kan ada 3, kenapa itu bebas, kita evaluasi. Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Memang yang belum 13 (kasus), kita evaluasi semua," pungkasnya.

13 kasus tersebut dibai menjadi dua kluster berdasarkan pembentukan UU No. 26/2000. Empat dari sembilan kasus lama adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, Talangsari Lampung 1989, dan tragedi Rumah Geudong Aceh 1990-1999.

Lima lainnya yaitu kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998, pembunuhan dukun santet, ninja, dan orang gila 1998-1999, eristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998, kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh 1999.

Sedangkan empat kasus baru yakni peristiwa Wasior 2001, peristiwa Wamena 2003, peristiwa Jambo Keupok 2003, serta peristiwa Paniai 2014.

Sebelumnya, peneliti Pusat Studi Hukum HAM, Universitas Airlangga Herlambang P. Wiratraman menyebut pembentukan Timsus HAM merupakan niat baik institusional Kejagung. Namun, ia mengatakan niat baik saja tidak cukup untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.

"Publik, terutama korban pelanggaran HAM berat maupun kasus pelanggaran HAM masa lalu tak cukup disembuhkan rasa ketidakadilannya dengan niat," kata Herlambang saat dihubungi Media Indonesia dari Jakarta, Jumat (1/1).

Ia juga mengatakan problem dasar penuntasan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah komitmen politik hukum presiden yang lemah. Oleh sebab itu, pembentukan timsus hanya akan menambah kerumitan penegakan hukum.

"Timsus hanya menambah rute dan kerumitan penegakan hukum. Dan bisa ditebak akhirnya akan lebih memperkuat mata rantai impunitas," ujarnya. (OL-6)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya