Headline

Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.

Fokus

Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.

RKUHP, Moderasi Pasal Hukuman Mati Perlu Dikaji Kembali

Nur Aivanni
27/3/2016 15:20
RKUHP, Moderasi Pasal Hukuman Mati Perlu Dikaji Kembali
(MI/M Irfan)

ANGGOTA Komisi III Fraksi PKS Nasir Djamil menekankan pasal hukuman mati yang tertuang dalam Pasal 102 RKUHP masih perlu dikaji dan diperdalam kembali.

Pasal tersebut mengatur pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun. Jika terpidana selama masa percobaan tersebut menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati diubah menjadi seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun.

"Pasal tersebut termasuk yang F-PKS kritik. Karena itu, Pasal 102 masih harus diperdalam dan diperdebatkan lagi," kata dia saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (27/3).

Alasannya, pertama, pasal tersebut merupakan penyelundupan hukum untuk secara tidak langsung menghapuskan hukuman mati.

Kedua, kata dia, bercampur aduk dengan kewenangan Presiden dalam memberikan grasi atau pengampunan dan juga remisi. Padahal, eksekusi terpidana mati itu dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi ditolak Presiden. "Kalau kemudian jika grasi ditolak, namun diberikan masa percobaan dan hukuman diubah, tentu 'merendahkan' wibawa presiden yang menolak grasi tersebut," tambahnya.

Ketiga, pasal tersebut memberikan peluang dan potensi abuse of power alias penyalahgunaan kewenangan bagi Kementerian Hukum. Misalnya, ada yang divonis mati, karena ingin diberikan masa percobaan dan diubah hukuman matinya kemudian 'menyuap' pihak kementerian. "Jadi itu potensial disalahgunakan," cetusnya.

Secara terpisah, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Mudzakir tidak sependapat dengan moderasi pasal hukuman mati yang menyatakan bisa mengubah eksekusi mati dengan pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun. Menurutnya, jika hakim sudah menjatuhkan pidana mati, maka putusan tersebut harus dieksekusi.

Jika pasal tersebut diakomodir, menurutnya, maka vonis hukuman mati hanya bersifat kamuflase. "Itu berarti akal-akalan saja. Itu justru mendorong orang berbuat jahat, hukuman tersebut hanya kamuflase atau akal-akalan formalitas saja," terangnya.

Selain itu, dari segi viktimologi, ia menyampaikan hal tersebut menghina keadilan bagi sang korban. "Sudah tepat terpidana dijatuhi pidana mati, ternyata tidak dieksekusi," tambahnya.

Ia pun memaparkan ada beberapa dampak jika pasal hukuman mati tersebut diimplementasikan. Pertama, orang akan cenderung melakukan kejahatan lantaran pidana mati hanya kamuflase semata sehingga tidak memberikan efek pencegahan atas tindak kejahatan. Kedua, dari sisi korban, mereka terlecehkan. Ketiga, masyarakat akan lebih memilih mengeksekusi sendiri ketimbang melalui jalur pengadilan.

Ia pun mengritisi bunyi Pasal hukuman mati tersebut. Menurutnya, pasal tersebut seharusnya tidak berbunyi menunggu masa percobaan 10 tahun. Namun, menurut dia, jika dalam waktu 10 tahun jaksa tidak melakukan eksekusi mati dan terpidana berkelakuan baik, maka pidananya bisa diubah menjadi seumur hidup. "Kalau jaksa menuntut eksekusi mati dalam 10 tahun ternyata ngga dilaksanakan, maka (hukumannya harus) diubah. (Jika tidak dilaksanakan eksekusinya) Artinya kejaksaan tidak serius menuntut pidana mati," tandasnya.


Berikut bunyi Pasal 100-102

Pidana Mati

Pasal 100

Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Pasal 101

(1) Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

(2) Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.

(3) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak.

(4) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Pasal 102

(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika:

a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;

b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan

d. ada alasan yang meringankan.

(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya