Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
WEBINAR terakhir dalam Forum Demokrasi AE Priyono bertema “Aktivisme Kewargaan di Tengah Geliat Demokrasi” yang digelar Public Virtue dan Erasmus Huis, 20 November 2020 telah rampung.
Kesimpulan dari webinar tersebut ialah masyarakat sipil perlu berkonsolidasi untuk memperbaiki kemunduran demokrasi di Indonesia.
Hal itu harus dimulai dari atas yaitu perbaikan institusi publik agar terpercaya, pembuatan kebijakan yang partisipatif, hingga penguatan oposisi.
Baca juga: Bawaslu Ingatkan Pemilih Pakai Masker di Hari Pencoblosan
Sedangkan perbaikan dari bawah bisa dimulai dari penguatan solidaritas antarkelompok warga yang terbelah akibat politik populisme yang memanipulasi identitas SARA hingga persebaran hoaks melalui teknologi digital dan propaganda terkomputasi.
"Kita sedang berada di dunia yang mengalami regresi demokrasi. Walaupun tidak drastis, perlahan-lahan terjadi selama dekade terakhir. Berbeda dengan pola penurunan demokrasi di masa lalu yang biasanya lewat kudeta militer, regresi demokrasi kali ini ditandai berkurangnya ruang warga dan kritik, dilemahkannya oposisi, dan melemahnya proses elektoral,” ujar Edward Aspinall, akademisi Australian National University (ANU) yang menjadi pembicara kunci.
Edward menggarisbawahi regresi demokrasi tidak berarti kehancuran demokrasi, melainkan kualitas yang menurun di beberapa sektor.
Regresi, baik secara institusional maupun non-institusional, menurutnya, akan menemui resistensi masyarakat. Ini ditandai oleh munculnya gerakan masyarakat, khususnya mahasiswa sebagai kekuatan utama.
Observasi ini diperkuat Sekertaris Umum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi. Ia menilai, di masa pandemi ini, masyarakat adat merasakan ketakutan, bukan hanya akan penyebaran penyakit covid-19, tetapi juga penangkapan dan dimata-matai jika menyalurkan aspirasi, khususnya pada pembuatan kebijakan Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja.
“Menyempitnya ruang sipil berdampak pada akses masyarakat adat saat pembuatan kebijakan yang terkait keberlangsungan hidup mereka. Masyarakat adat yang mengolah tanahnya tanpa campur tangan pihak lain dapat berdiri sendiri, tapi masyarakat adat yang menjadi buruh terancam punah karena minimnya sumber pangan, akses kesehatan, dan pemerataan kesejahteraan,” kata Rukka.
Sementara itu, mantan Deputi II KSP Yanuar Nugroho membedakan kehidupan demokrasi pada masa kini dibandingkan dahulu. Dinamika relasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah memang terasa semakin berjarak.
“Perlu dipahami, kita tidak dapat melihat pemerintah sebagai entitas tunggal, tetapi merupakan gabungan kepentingan politik. Dalam birokrasi, pembuatan kebijakan juga mengandung kepentingan berbagai aktor. Jika masyarakat tidak ikut andil, maka kebijakan yang dihasilkan semakin terserabut dari masayrakat,” katanya.
Panesli terakhir, Direktur The Asia Foundation Sandra Hamid menawarkan perspektif lain. Ia mengajak masyarakat sipil merefleksikan peran masing-masing dalam ruang publik.
Menggarisbawahi hasil survei dari beberapa lembaga, ia mengatakan, sering kali masyarakat sipil sendirilah yang turut andil dalam menyempitkan ruang publik melalui banyaknya pengaduan kasus berbasis UU ITE dan UU Ormas.
“Kemunduran demokrasi menjadi tanggung jawab masyarakat sipil untuk menyelesaikan persoalan ini dan merawat ruang publik. Kalau kita meyakini ruang kewargaan adalah ciri paling mendasar dari demokrasi dan masyarakat yang terbuka, maka kita harus menjaga ruang itu. Ruang itu adalah ruang di mana kita bisa bernegosiasi, bersilang pendapat, dan bersetuju. Tanpa ruang itu, demokrasi tidak tidak berjiwa. Kita, masyarakat sipil, bertanggung jawab menjaganya,” kata Sandra. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved