Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

Keterlibatan Perempuan dalam Radikalisme dan Terorisme Meningkat

Indriyani Astuti
18/6/2020 17:50
Keterlibatan Perempuan dalam Radikalisme dan Terorisme Meningkat
Terorisme(Ilustrasi)

TINDAKAN terorisme dan radikalisme yang melibatkan perempuan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan pada 2018 tercatat 13 orang perempuan terlibat dalam aksi teror sedangkan pada 2019 bertambah menjadi 15 orang termasuk kasus peledakan diri yang dilakukan istri Abu Hamzah di Sibolga, Sumatera Utara pada Maret 2019. 

Demikian disampaikan Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar dalam webinar bertajuk Radikalisme di Kalangan Perempuan Indonesia yang diselenggarakan oleh Kongres Perempuan Indonesia (Kowani) dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) di Jakarta, pada Kamis (18/6).

Boy menyebutkan dari hasil kajian BNPT ada sejumlah alasan jaringan terorisme dan ekstrimisme  melibatkan lebih banyak perempuan.

Pertama, perempuan dianggap bisa menjadi pengikut yang loyal dan patuh, kedua mudah percaya pada dan tunduk dengan nuasa yang berbalut ajaran agama, ketiga perempuan punya akses terhadap media sosial namun dibekali literasi yang rendah, terakhir perlibatan perempuan dianggap sebagai siasat yang dapat mengelabui aparat penegak hukum.

"Mereka yang terlibat umumnya ibu rumah tangga dan perempuan biasa. Terpapar karena propaganda baik dari media sosial atau suami," ujar Boy.

Boy juga menjelaskan, peran perempuan dalam terorisme cukup signifikan. Perempuan, imbuhnya, menjadi pendamping dan pengikut karena adanya dokrin mereka harus tunduk pada suami. Selain itu, perempuan juga dipercaya merekrut dan melakukan mobilisasi terhadap perempuan lainnya. Terakhir perempuan dijadikan fighter atau pejuang dan perakit sekaligus pelaku dari bom bunuh diri. 

Baca juga : KPK: Kartu Prakerja tak Tepat Sasaran

Oleh karena itu, BNPT juga melakukan upaya dalam membendung agar perempuan tidak terlibat dalam aksi terorisme dan radikalisme antara lain melakukan kontraradikalisasi.

"Menguatkan paham-paham kebangsaan dan meluruskan tafsir-tafsir keagamaan yang sempit dalam melihat ayat-ayat. Mereka dengan mudah mengatakan itu bagian dari ajaran agama bahkan menghilangkan nyawa orang lain," terang Boy.

Selain itu, menurutnya upaya lain guna mencegah kaum perempuan terpicu dalam aksi teror dan ekstrim ialah melalui pemberdayaan ekonomi serta integrasi sosial. Hal itu, ujarnya, penting sebab masalah ekonomi juga menjadi salah satu alasan perempuan terlibat dalam terorisme. Boy mengatakan BNPT juga melibatkan perempuan sebagai agen perdamaian.

Pada kesempatan yang sama, psikolog Arijani Lasmawati yang juga pemateri dalam webbinar tersebut menjelaskan ada faktor-faktor eksternal dan internal yang membuat perempuan menjadi kelompok rentan sebagai sasaran dari jaringan terorisme dan radikalisme. Faktor ekstrenal, ujarnya, ialah relasi sosial personal di dalam keluarga yakni antara istri dan suami.

"Faktor budaya subordinat berlaku dan keyakinan suami adalah pemimpin keluarga," terang Arijani.

Faktor internal, imbuh Arijani adalah faktor psikologi. Perempuan, terang dia, rentan mengalami masalah emisional seperti mudah cemas, stress, dan kekhawatiran.

"Pada kondisi tertentu ada titik jenuh. Perempuan merasakan ketidakadilan, tidak terpenuhi kebutuhan dan mencari tempat pelarian melepaskan masalah. Kondisi ini sering dimanfaatkan kelompok radikal menawarkan soluasi yang berbungkus agama misalnya pendampingan curhat atau membangun eksklusivitas kelompok," papar dia. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya