Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

Akademisi: Perpres Pelibatan TNI Ancam Kebebasan Berekspresi

RO/Micom
03/6/2020 20:07
Akademisi: Perpres Pelibatan TNI Ancam Kebebasan Berekspresi
Pasukan Satuan Penanggulangan Teror (Satgultor) TNI mengikuti simulasi penanggulangan teror di Jakarta.(MI/PIUS ERLANGGA )

RANCANGAN Peraturan Presiden (Perpes) Pelibatan TNI dalam Memberantas Teroris dikhawatirkan memberikan ekses penahanan tanpa dasar, pelanggaran perlindungan data piribadi hingga kebebasan berekspresi.

Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas menungkapkan, dampak utama jika rancangan tersebut disahkan pastinya terkait dengan pelaksanaan dan mekanisme evaluasi (monitoring) atas perluasan mandat TNI untuk melakukan fungsi penangkalan dan pencegahan yang sesuai dengan prinsip proposional serta akuntabel. Salah satu kekhawatiran terkait kemungkinan terjadi ekses dalam pelaksanaan operasi fungsi penangkalan dan pencegahan ini selama UU utama yang pengatur tentang fungsi pelibatan TNI dan peradilan militer belum diatur khususnya terkait subjek hukum militer.

“Ekses ini mungkin bisa dalam bentuk penggunaan kekerasaan, penahanan tanpa dasar, pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi, dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi,” beber Siskha, Rabu (3/6).

Sependapat dengan para aktivis dan akademisi serta tokoh masyakat yang menolak kemunculan Perpres tersebut, Siskha menilai tidak ada urgensi perluasan mandat baru TNI dalam kondisi krisis menghadapi pandemi Covid-19.

Salah satu yang dikritisi secara tegas adalah Pasal 3 dalam rancangan Perpres itu tentang fungsi penangkalan yang meliputi operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya.

“Bahkan terminologi "penangkalan" tidak ditemukan dalam UU No.5/2018 tentang Tindak Pidana Terorisme yang merupakan UU rujukan utama. UU ini menggunakan terminologi fungsi pencegahan yang kewenangannya diberikan kepada BNPT,” kata Siskha yang kini dipercaya sebagai Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy ini.

Pasal lain yang juga bermasalah disebutkan Siskha salah satunya adalah Pasal 7 dalam rancangan Perpres yang malah berbeda dengan memberikan fungsi pencegahan terhadap TNI. Ia berpendapat pemerintah seharusnya mendahulukan rancangan undang-undang Perbantuan TNI yang mengatur secara khusus tugas perbantuan TNI di dalam operasi militer selain perang (OMSP).

“UU Perbantuan TNI ini lebih urgent untuk diprioritaskan karena ada kebutuhan strategis dari penanganan krisis pandemi Covid-19,” pesannya mengingatkan pemerintah lebih peka terhadap kondisi krusial di tengah pandemi Covid 19.

Sebagai contoh perlunya UU Perbantuan TNI diprioritaskan di tengah pandemi, Siskha menuturkan rencana pengerahan TNI dalam membantu Polri terkait pendisiplinan protokol kesehatan di 1.800 titik yang berada di empat Provinsi dan 25 Kabupaten/Kota. Belein itu tegasnya untuk memastikan proses pelaksanaan pengerahan TNI berlangsung proposional dan akuntable tanpa ekses penggunaan kekerasan.

“Pendisiplinan ini dilakukan di ruang publik sipil seperti mall, pasar, sarana transportasi massal, tempat pariwisata dan lain sebagainya yang berada di 1.800 tersebut,” papar Siskha.

“Dasar pengerahan ini didasarkan pada Keppres Pembentukan Gugus Tugas dan tidak mengatur detail tentang mekanisme dan persyaratan pelibatan TNI. Bagaimana jika terjadi ekses penggunaan kekerasan?” imbuhnya.

Siskha meminta parlemen turut mengkritisi pemerintah dengan menolak disahkannya rancangan Perpres yang telah diserahkan pemerintah sejak awal Mei 2020 lalu ke DPR.

“Mungkin tidak perlu ‘frontal’ dicabut, namun direvisi sesuai dengan UU rujukan utama (UU TNI), khususnya mungkin koordinasi BNPT dengan TNI. Jangan memberikan perluasan mandat baru yang tidak sesuai sebagai turunan dari UU utama,” ucap Siskha yang turut menandatangani Petisi Bersama Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Sipil tertanggal 27 Mei 2020 lalu.

Sejumlah tokoh lain yang menandatangani petisi antara lain Guru Besar Fisipol UGM Prof Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Prof Sigit Riyanto, Alissa Wahid (putri mendiang Gus Dur), dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, dan Usman Hamid. (J-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya