Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Bekal KPK kok hanya potensi

MI/Eko Rahmawato
19/1/2016 11:39
Bekal KPK kok hanya potensi
(MI/Rommy Pujianto)

Maqdir Ismail kuasa hukum mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino menilai dasar penetapan Komisi Pemberantasan Korupsi yang disampaikan dalam sidang praperadilan membingungkan. "Undang-Undang tentang kerugian negara ini harus jelas, nyata dan pasti. Tidak bisa hanya berdasarkan potensi. Potensi itu bisa ya bisa tidak. Jadi seharusnya yang diikuti KPK untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan korupsi harus nyata dan pasti sesuai dengan UU Keuangan Negara," tuturnya.


Maqdir menjelaskan dalam Pasal 1 butir 22 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mensyaratkan adanya kerugian negara yang benar-benar nyata. "Kalau hanya potensi, itu masih memakai UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang lama."
Dia melanjutkan dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil dimana unsur dapat merugikan keuangan negara diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung.

Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara. Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting, tukasnya.
Sehingga dalam delik formil kerugian negara dipandang sebagai unsur pokok sehingga suatu keputusan bisnis di BUMN yang mana dalam tiap keputusan terdapat resiko tentu jadinya jika keputusan tersebut ternyata berujung pada kerugian, seakan otomatis dapat dianggap sebagai perbuatan korupsi.


"Namun dalam perjalanannya UU No 31/1999 yang dasarnya delik formil sebagian sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No : 003/PUU-IV/2006. Masa UU yang sudah dibatalkan masih dipakai?"
Maqdir mengingatkan jika KPK menuduh adanya korupsi dalam pengadaan 3 (tiga) unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) tahun 2010 dengan ranah kerugian negara ternyata seluruh data yang dimiliki justru sebaliknya dimana efisiensi dan keuntungan yang didapatkan ketika putusan pembelian alat dilakukan RJ Lino.


Maqdir mengingatkan KPK seharusnya juga melihat Putusan Mahkamah Agung no 946 K/PDT/2011 dan fatwa Mahkamah Agung no 068/KMA/HK.01/VII/2012 dimana yang bisa menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan melawan hukum adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Jadi sudah jelas kan, perhitungan kerugian negara pun harus dilakukan oleh yang ahli. Tidak bisa sembarang penyidik yang menentukan itu. Kalau kita mau mengikuti aturan main, ketentuan hukum yang ada seharusnya KPK patuh secara baik!" tegasnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya