Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
WACANA pembentukan tim hukum nasional yang dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, terkesan politis. Tim yang nantinya bertugas untuk mengkaji pemikiran dan ucapan pascapemilu yang dilontarkan oleh tokoh maupun pihak tertentu, itu tidak memiliki instrumen hukum dan hasilnya cenderung subjektif.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi ketika dihubungi Media Indonesia, Selasa (7/5), menyarankan agar wacana pembentukan tim tersebut dikaji ulang. Solusi terbaik ialah membentuk satuan tugas yang disupervisi lembaga penegak hukum.
"Kenapa perlu dikaji ulang? Karena tim hukum nasional itu sudah mengambil kewenangan lembaga penegak hukum seperti kepolisian. Itulah yang perlu didorong agar kemudian negara tidak dianggap antidemokrasi," ujar Muradi.
Baca juga: Antisipasi Delegitimasi Pemilu, Pemerintah Bentuk Tim Hukum
Menurut dia, pembentukan satgas pemantau atau atau satgas pengkaji lebih baik ketimbang tim hukum nasional. Satgas yang mengurusi hal tenis tentu memiliki banyak instrumen, lebih praktis dan aktif, serta lembaga etiknya juga sudah jelas.
Bahkan, apabila ingin jangkauan yang lebih luas, satgas tersebut juga bisa melibatkan unsur selain Polri, seperti Kejaksaan RI, TNI, Lemhannas, dan lembaga lain. Intinya, satgas tidak boleh berada di bawah komando Kemenko Polhukam.
"Kalau satgas jelas instrumennya. Mereka bisa menggunakan UU ITE, UU soal makar, ujaran kebencian, dan sebagainya. Saya melihat usulan Menkopolhukam tidak akan efektif karena orang kemudian menjadi bagian dari subjektif mengawasi, padahal instrumennya tidak punya."
Sebelumnya, Wiranto mengemukakan wacana pembentukan tim hukum nasional bertujuan agar segala perbuatan yang dianggap telah meresahkan masyarakat ditindak tegas. Tim tersebut diakuinya bermaterikan pakar hukum tata negara dan akademisi.
Menurut dia, saat ini banyak upaya yang cenderung mendelegitimasi penyelenggara pesta demokrasi. Selain melempar cacian dan menuding pemerintah diktator, adapula seruan untuk melakukan gerakan massa (people power), seperti yang diinisiasi Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais.
"Jangan menghasut masyarakat seperti itu. Ini sesuatu yang saya kira perlu saya sampaikan ke masyarakat karena banyak hasutan-hasutan. Banyak hal yang kemudian membuat masyarakat resah, masyarakat takut. Itu akan kita tindak secara hukum," ujarnya kepada wartawan, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (6/5)
Lebih jauh, terang dia, pemerintah tidak tinggal diam melihat rongrongan yang terhadap negara. Bahkan, imbuhnya, cercaan yang selalu dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo selaku capres nomor 01 juga akan disikapi dengan pemberian sanksi.
"Presiden Joko Widodo masih sah sebagai presiden sampai Oktober nanti. Itu ada hukumnya, ada sanksinya dan kita akan melaksanakan itu. Siapapun dia, apakah mantan tokoh, mantan jenderal, tidak ada masalah. Tatkala dia melanggar hukum maka harus kita tindak dengan tegas," pungkasnya. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved