Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
TERULANGNYA kasus korupsi yang melibatkan institusi peradilan, dalam hal ini para hakim membuat wajah peradilan Indonesia kembali tercoreng. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai peristiwa seperti ini bukan pertama kali terjadi dan sudah kesekian kali tanpa ada pembenahan berarti.
"ICW mencatat pada era kepemimpinan Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung, setidaknya sudah ada 20 orang Hakim yang terlibat praktik korupsi. Atas kejadian ini ICW menuntut Hatta Ali mengundurkan diri sebagai Ketua Mahkamah Agung karena dinilai telah gagal untuk menciptakan lingkungan pengadilan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi," tutur Kurnia Sabtu (4/5).
Kurnia menjelaskan dari sisi regulasi yang mengatur pengawasan pada lingkungan MA sebetulnya sudah tertuang secara jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung No 8 Tahun 2018. Oleh sebab itu dirinya menilai bahwa implementasi dari regulasi tersebut telah gagal dijalankan di lingkup peradilan di Indonesia.
Baca juga: Jasa Pengaturan Putusan Kasus Berujung OTT KPK
Menurut Kurnia persoalan ini harus menjadi refleksi serius bagi dua institusi pengawas hakim, yakni Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial.
Peristiwa penangkapan hakim di Balikpapan kal ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan belum berjalan secara optimal. Kedua lembaga tersebut menurut Kurnia harus merumuskan kembali grand design pengawasan, bahkan jika diperlukan dapat melibatkan KPK sebagai pihak eksternal.
Sebelumnya ICW sempat memetakan pola korupsi yang terjadi di sektor pengadilan. Setidaknya ada 3 (tiga) tahapan. Pertama, saat mendaftarkan perkara. Yang dilakukan dalam tahapan ini adalah dalam bentuk permintaan uang jasa. Ini dimaksudkan agar salah satu pihak mendapatkan nomor perkara lebih awal lalu oknum di pengadilan mengiming-imingi dapat mengatur perkara tersebut.
Kedua, tahap sebelum persidangan. Korupsi pada tahap ini adalah untuk menentukan majelis hakim yang dikenal dapat mengatur putusan. Ketiga, saat persidangan. Modus ini yang paling sering dilakukan, caranya dengan menyuap para Hakim agar putusannya menguntungkan salah satu pihak. Gambaran pola tersebut patut untuk dijadikan perhatian bersama agar kedepan tidak ada lagi pihak yang menambah catatan kelam dunia pengadilan Indonesia.
Seorang Hakim yang terlibat kasus korupsi sebenarnya tidak hanya bersinggungan pada regulasi hukum saja, akan tetapi juga melanggar kode etik. Jelas disebutkan pada Pasal 12 huruf c UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa seorang Hakim yang menerima hadiah atau janji untuk mempengaruhi sebuah putusan diancam dengan pidana maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 milyar.
Selain itu Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah menegaskan bahwa Hakim tidak boleh meminta atau menerima pemberian atau fasilitas dari advokat atatupun pihak yang sedang diadili.
Dengan kembali terjaringnya hakim dalam pusaran korupsi ICW menilai hal ini akan memperburuk citra peradilan di masyarakat. Sebelumnya hal ini terbukti dengan rilis survei yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2018 lalu yang menempatkan sektor pengadilan pada tiga urutan terbawah dalam lembaga rawan terjadi korupsi. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved