Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
DIHENTIKANNYA kasus dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA 212) Slamet Ma'arif menjadi sinyal lemahnya penanganan pidana pemilu. Awalnya, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pemilu 2019 meyakini unsur pelanggaran pemilu sudah terpenuhi karena Slamet melakukan orasi di saat masa kampanye belum dimulai. Namun, saat kasus dilimpahkan ke Polri dan dilakukan gelar perkara, aparat kepolisian memutuskan aksi Slamet tidak memenuhi unsur pidana.
Hal ini tentu menjadi tanda tanya bagi publik karena awalnya Gakkumdu meyakini ada unsur pidana dalam kasus Slamet. Bahkan muncul pertanyaan apakah lembaga yang terdiri atas Bawaslu, Polri, dan jaksa ini bisa bertindak tegas dalam proses penanganan pidana pemilu. Apalagi, kasus seperti Slamet bukan kali pertama, yakni pada Mei 2018, Polri mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dugaan tindak pidana pemilu terhadap iklan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dianggap mencuri start kampanye.
Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin pun mempertanyakan alasan kepolisian menghentikan kasus Slamet ini. Menurut anggota TKN Jokowi-Amin, Lukman Edy, keputusan itu dinilai bisa berdampak buruk terhadap kualitas Pemilu 2019. "Pihak kepolisian ini agak punya pertimbangan yang belum kami pahami dalam menghentikan kasus ini," katanya di Jakarta, kemarin.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu khawatir akan ada kasus pelanggaran kampanye yang berbalut kegiatan agama di wilayah lain. "Karena sekali lagi tidak boleh ada dalam mengisi tahapan pemilu ini dengan sembrono," ujarnya.
Sementara itu, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, Ferdinand Hutahaean, menyatakan, sejak awal kegiatan yang dilakukan Slamet memang bukan pelanggaran pemilu. Karena itu, menurutnya, langkah kepolisian menghentikan proses penyidikan terhadap Slamet sudah tepat. "Kita sudah menyatakan bahwa yang dilakukan ustaz Slamet bukan pelanggaran," tuturnya.
Tergesa-gesa
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan hal berbeda. Menurutnya, lolosnya Slamet tidak terlepas dari ketidakhati-hatian Gakkumdu. Seharusnya Gakkumdu berhati-hati saat menilai peristiwa atau perbuatan merupakan pelanggaran pemilu atau bukan. "Namun, proses awal di Gakkumdu itu cenderung terburu-buru," ujarnya.
Menurutnya, kasus itu menjadi contoh bahwa semua peristiwa terkait pemilu harus terlebih dulu dikaji Bawaslu. Pihak kepolisian tidak boleh langsung memprosesnya. Hal ini akan menghindari anggapan tidak netralnya kepolisian dalam pemilu.
Baca Juga: Kasus Dugaan Pelanggaran Kampanye Ketua PA 212 Dilimpahkan
Sebenarnya, menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, mekanisme penanganan perkara khusus di Sentra Gakkumdu serupa dengan penanganan perkara biasa. Hanya petugas yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu bekerja di bawah satu atap untuk mempercepat penyelesaian kasus. "Apalagi, kasus khusus itu juga dibatasi waktunya. Jika melebihi waktu yang ada, ya dianggap kedaluwarsa," katanya.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini bahkan berpandangan lebih ekstrem. Titi mengusulkan agar Gakkumdu dibubarkan karena masih adanya perbedaan perspektif di antara lembaga di dalamnya saat menyikapi pidana pemilu sehingga ke depannya tak menimbulkan polemik dan kecurigaan terkait konsistensi penegak hukum.
"Jadi, hubungannya antarlembaga saja. Bawaslu menyatakan ada unsur pelanggaran, diteruskan kepada kepolisian sehingga otoritas itu jelas pada siapa," katanya. (Gol/Dro/P-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved