Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
WAKIL Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Oesman Sapta Odang (OSO) mengkritik sikap penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), yang kerap berbeda tafsir atas aturan pemilu. Perbedaan tafsir itu, menurutnya, sudah mengarah pada munculnya ketidakpastian hukum.
“Catatan saya atas penyelenggaraan pemilu saat ini, masih ada perbedaan tafsir atas aturan antara KPU dan Bawaslu. Perbedaan tafsir ini dapat mengarah pada ketidakpastian hukum,” papar OSO saat menjadi pembicara di Dialog Nasional Pemilu 2019 yang Damai, Aman, Tertib, dan Badunsanak serta Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatra Barat, Sabtu (23/2).
Turut hadir menjadi pembicara dalam dialog itu Rektor UNP Ganefri dan tiga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan Sumatra Barat, yaitu Emma Yohanna, Leonardy Harmainy,
dan Herman Darnel Ibrahim.
“Profesionalitas KPU dan Bawaslu menentukan kualitas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Mari kita berpegang pada prinsip itu,” tegas OSO yang juga Ketua DPD itu.
Sebelumnya OSO sempat bersengketa dengan KPU dan Bawaslu perihal pencalonannya sebagai anggota DPD 2019- 2024 pada pemilu kali ini. Pada September 2018, OSO dicoret KPU dari daftar calon tetap (DCT) anggota DPD.
KPU menilai OSO tak memenuhi syarat DCT karena rangkap jabatannya selaku fungsionaris partai politik, yakni Ketua Umum Partai Hanura. KPU mengklaim sikap mereka didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi No 30/PUU-XVI/2018 yang melarang ketua umum partai politik merangkap jabatan sebagai anggota DPD.
OSO kemudian menggugat keputusan KPU tersebut ke Bawaslu. Pada Oktober 2018, Bawaslu mengeluarkan keputusan yang menolak gugatan OSO seraya menyebut keputusan KPU itu berpayung hukum pada putusan Mahkamah Konstitusi tentang larangan rangkap jabatan calon legislatif.
Upaya hukum berikutnya pun dilayangkan OSO ke Peng adilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. November 2018, OSO mendapat putusan yang berpihak padanya. PTUN Jakarta mengabulkan gugatan OSO dan memerintahkan KPU memasukkan namanya ke DCT. Sejurus dengan itu, pada Januari 2019, Bawaslu juga meminta KPU untuk memasukkan kembali kepesertaan OSO dalam calon anggota DPD.
Bawaslu juga memerintahkan OSO untuk mundur dari partai politik jika dirinya lolos menjadi anggota DPD periode 2019-2024. Meski demikian, KPU tetap pada keputusan untuk tidak memasukkan nama OSO ke DCT anggota DPD Pemilu 2019.
“KPU dan Bawaslu seharusnya bekerja profesional dengan mengacu pada aturan perundangan yang berlaku. Jika tidak, proses pemilu yang sedang berjalan hanya akan menghasilkan ketidakpastian hukum,” tegas OSO. (Msc/P-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved