Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
PENELITI senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai selama dua dekade pasca-reformasi, demokrasi Indonesia mengalami stagnasi, salah satunya disebabkan kegagalan terkonsolidasinya masyarakat sipil.
"Ada tiga yang membuat demokrasi Indonesia tertatih, yaitu warisan kolonialisme, sistem otoriter yang terlalu lama sejak 1940 hingga 1998, dan kegagalan konsolidasi politik sipil," kata Syamsuddin dalam diskusi Peluang dan Tantangan Demokrasi ke Depan di Gedung LIPI, Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan, kegagalan konsolidasi politik sipil itu sudah terlihat sejak 1998 ketika Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X gagal mencapai konsensus politik.
Menurut dia, kegagalan konsolidasi di tingkat elite itu menandakan melembaganya sikap saling curiga elemen sipil yang berlanjut hingga saat ini.
"Esensinya, kegagalan sipil membangun konsensus. Politik mau dibawa ke mana dan sistem yang mau dijalankan seperti apa. Saya nilai fenomena transisi demokrasi sampai saat ini munculnya pembelahan politik yang kelihatannya sampai 2019," ujarnya.
Haris mengajak masyarakat menarasikan kembali konsolidasi politik sipil karena kekuatan demokrasi yang dahsyat ialah elemen politik sipil. Namun, dia menilai jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, kelompok politik sipil di Indonesia cukup kuat meskipun sering terkooptasi khususnya di tingkat lokal.
"Konsolidasi demokrasi yang berjalan bagaimana masyarakat sipil harus otonom atas dua pihak, yaitu masyarakat politik atau negara dan masyarakat ekonomi dalam hal ini pasar," ujarnya.
Dia juga menilai penyebab demokrasi Indonesia stagnan dalam dua dekade ialah terjadinya oligarki politik dan oligarki ekonomi, yang terjadi di tingkat nasional serta lokal.
Oligarki
Kepala Pusat Penelitian Politik pada LIPI Firman Noor mengemukakan sistem oligarki masih terjadi dalam partai politik di Indonesia sehingga berdampak buruk bagi demokrasi.
"Dampaknya sangat buruk bagi demokrasi Indonesia karena untuk membuat kebijakan ditentukan segelintir orang," kata Firman dalam pemaparan Hasil Penelitian Prioritas LIPI 2018 di Kantor LIPI, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, seharusnya penunjukan orang menggunakan merit system yang ketat atas dasar keahlian seorang menduduki jabatan.
Namun, dia menilai yang terjadi saat ini adalah politik transaksional sehingga pengisian jabatan politik atas dasar konsep "siapa dapat apa" dan mengesampingkan kualitas.
"Itu jadi tren membahayakan bagi demokrasi karena demokrasi tidak akan menghasilkan apa pun selain kepentingan elite," ujarnya.
Menurut dia, Indonesia memiliki karakteristik demokrasi yang unik karena antara demokrasi dan oligarki bisa berjalan bersama-sama. (Ant/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved