Polemik Pencalonan OSO, KPU Didesak Ajukan Sengketa Kelembagaan ke MK

Nurjiyanto
27/11/2018 19:39
Polemik Pencalonan OSO, KPU Didesak Ajukan Sengketa Kelembagaan ke MK
(MI/MOHAMAD IRFAN)

KOALISI masyarakat dari Perludem, KoDe Inisiatif, Formappi, dan Pusako Universitas Andalas menuturkan ada alternatif kebijakan yang dapat diambil oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyikapi 3 hasil putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menuturkan KPU bisa mensurati OSO untuk segera mematuhi putusan MK dengan memberikan kesanggupan surat pengunduran diri sebagai pengurus parpol jika tetap ingin masuk ke daftar calon tetap (DCT) DPD.

Jika nantinya OSO tetap tidak menyanggupi hal tersebut KPU disarankan untuk mengajukan sengketa kelembagaan ke MK terkait lembaga mana yang memiliki wewenang untuk memutuskan siapa saja yang berhak masuk daftar calon tetap (DCT).

"Jika OSO belum berkenan taati putusan MK (dengan serahkan surat undur diri tadi), kami sarankan ke KPU ajukan sengketa kewenangan lembaga negara ke MK, agar MK bisa putuskan lembaga mana yang berhak putuskan soal DCT dalam hal ini adalah DCT calon anggota DPD," ungkapnya saat ditemui di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (27/11).

Ditemui ditempat yang sama, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni menuturkan pihaknya yakni koalisi masyarakat sipil berencana akan mengajukan uji materi dalam hal mekanisme penyelesaian sengekat yang menurut pandang mereka kurang berkontribusi dalam penyelesaian sengketa penganan pemilu ke MK.

Pasalnya, karakter putusan PTUN tersebut dinilai tidak lazim. Sebab, dalam sengekat tersebut, PTUN adalah tingkat pertama namun disisi lain menjadi lembaga yang putusannya mengikat.

"Soal putusan PTUN, sangat konkret salah satunya Meminta memasukkan OSO dalam DCT. Satu sisi itu final mengikat,  tapi juga harus ingat putusan MK yang sifatnya setara dengan UU. Degan situasi ini KPU punya pilihan," ujarnya.

Sebagai informasi, MA telah mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang. Uji materi dilakukan terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD setelah adanya putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018.

Dalam putusannya MA Menyatakan Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Lalu menyatakan Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut terhadap Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang telah mengikuti Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2017.

Aturan larangan anggota DPD merangkap jabatan sebagai pengurus parpol tercantum dalam putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Senin (23/7).

Dalam pertimbangannya mahkamah berpendapat adanya proses pendaftaran calon anggota DPD yang telah dimulai dan terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan merupakan pengurus partai politik terkena dampak oleh putusan tersebut, maka KPU dapat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Politik yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri.

Dengan demikian untuk selanjutnya anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Sedangkan dalam amar putusannya MK memutuskan Frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.

Adanya putusan tersebutlah yang melatarbelakangi adanya aturan dalam PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya