Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Buzzer Politik Bisa Pengaruhi Pilpres 2019

MI
13/10/2018 10:28
Buzzer Politik Bisa Pengaruhi Pilpres 2019
Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko (kedua dari kanan) bersama politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean (kedua dari kiri), pengamat politik SMRC Saidiman Ahmad (kanan) dan Founder Ruang Sandi Dimas Akbar menjadi pembicara dalam diskusi publik tentang bu(MI/BARY FATHAHILAH)

PERAN buzzer dalam menggiring opini jelang Pemilu 2019 makin membawa pengaruh. Kerja buzzer bahkan sudah menjadi strategi dalam politik untuk meraih dukungan pemilih.

“Setidaknya jika kita melihat saat ini betapa pengaruh buzzer di media sosial sangat besar melalui percakapan interaksi yang mempengaruhi opini,” kata politikus PDIP Budiman Sudjatmiko dalam diskusi publik bertajuk Buzzer Politik di Media Sosial, Efektifkah? yang diadakan Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) di Tebet, Jakarta Selatan, kemarin.

Ia menyebutkan perkembangan teknologi informasi termasuk media sosial bisa membuat seseorang yang memiliki follower  (pengikut) dalam jumlah banyak mampu menyebarkan pengaruhnya dalam berbagai ekspresi seperti gambar, kalimat, dan suara. “Itulah juga kenapa buzzer ini punya peran signifikan.’’

Meski demikian, ia tidak menggunakan buzzer. Sejak awal mem-posting berbagai konten di internet, dirinya tidak pernah memiliki keyboard warrior atau buzzer atau admin media sosial.

“Kalau rekan-rekan pehatikan gaya saya membuat artikel, intonasi, pilihan kata, semua sama. Berbicara soal medsos saat ini jangan hanya mengandalkan kecerdasan teknologi, tapi juga kecerdasan otak sehingga apa yang disebarkan progresif,” ujarnya.

Aktivis media sosial sekaligus founder Ruang Sandi, Dimas Akbar menyebutkan buzzer politik merupakan profesi yang buruk. Selayaknya, praktik buzzer paid mempromosikan berbagai produk. “Bahwa akhir-akhir ini buzzer politik dikonotasikan dengan hal negatif. Karena begitu banyaknya konten negatif yang disebarkan melalui isu politik. Dengan jumlah pemilih saat ini yang basiknya 30%-40% merupakan generasi muda, membuat tim buzzer harus bisa kreatif menciptakan konten yang menarik untuk merangkul mereka,” kata Dimas.

Analis politik SMRC Saidiman Ahmad menambahkan meski peran buzzer menjadi kian siginifikan, masyarakat pemilih tetap memiliki rasionalitasnya sendiri. “Publik kita tetap memiliki rasionalitas dalam bermedia sosial, bahwa publik tetap melihat hasil kerja pemerintah serta rekam jejak calon daripada hasil kerja buzzer yang kadang juga bisa bias.” (Ths/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya