Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

PBHI Galang Amicus Curiae dalam Kasus Meiliana

Thomas Harming Suwarta
05/9/2018 17:25
PBHI Galang Amicus Curiae dalam Kasus Meiliana
(ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)

PERHIMPUNAN Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengajak partisipasi masyarakat luas dengan mengajukan amicus curiae (sahabat peradilan) dalam kasus Meiliana yang saat ini sedang mengajukan proses banding.

Dukungan dalam bentuk amicus curiae dianggap penting agar pengadilan tingkat banding dapat memutus bebas Meiliana. PBHI menilai Pengadilan Negeri (PN) Medan yang memutus pidana penjara 1 tahun 6 bulan terhadap Meiliana dianggap sesat dan mencederai rasa kemanusiaan.

Sebelumnya, pada 21 Agustus 2018 lalu, PN Medan menyatakan Meiliana bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama dan menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan. Kasus tersebut bermula ketika Meiliana menyampaikan pertanyaan kepada tetangganya tentang suara azan masjid yang semakin keras.

"Kita mendorong amicus curiae ini agar hakim pada tingkat banding bisa secara obyektif dan benar-benar memutus perkara ini dengan hati nurani dan bukan karena tekanan atau faktor apa pun," kata Ketua PBHI Totok Yulianto, dalam Media Briefing bertajuk “Bebaskan Meiliana” di Jakarta, Rabu (5/9).

Ia menilai sesungguhnya perkara ini tidak tepat untuk diajukan sebagai tindak pidana apalagi diputus bersalah oleh pengadilan.

"Pendapat dalam bentuk amicus curiae ini kami galang agar para hakim punya perspektif beda dengan hakim pada PN Medan yang memutus perkara ini,” sambung Totok.

Problem pokok dalam kasus Meiliana ini, kata dia, ialah penerapan Pasal 156 dan 156a KUHP terkait ‘menyatakan rasa permusuhan dan kebencian’ yang diterapkan secara serampangan.

"Pasal ini sangat problematis dan praktiknya bisa sangat serampangan. Bagaimana suatu tindakan memenuhi unsur pidana itu harus ketat, ada korbannya yang merasakan. Nah dalama kasus ini bagaimana kita mengkur suatu ucapan itu menimbulkan sakit hati pada kelompok orang atau sederhananya sejauhmana orang merasa terhina atau tersakiti. Jadi susah dalam kasus ini kita menemukan unsur pidananya,” jelas Totok.

Dalam banyak kasus, model persoalan seperti yang dialami Meiliana seharusnya diselesaikan secara musyawarah mufakat dan bukan dibawa ke ranah pidana. Jika dipaksakan ke ranah pidana, biasanya dalam perjalanannya sangat kental dengan tekanan massa ketimbang proses hukum yang berjalan adil dan transparan.

"Maka jelas sekali ini adalah sebuah peradilan sesat. Apalagi kita tahu kasus ini sempat tertahan 1 tahun karena polisi sulit menemukan unsur pidananya tetapi karena tekanan massa, dalam hal ini kelompok-kelompok intoleran maka lolos juga bahkan sampai diputus bersalah. Ini tidak fair,” tegas Totok.

"Maka itu kami sangat mendorong agar pengadilan tingkat banding dapat mengoreksi peradilan sesat di PN Medan, sekaligus dalam perkara ini Pengadilan Tinggi menanyakan apakah perbuatan menyampaikan pertanyaan mengenai pengeras suara di masjid yang semakin kencang dianggap sebagai suatu kejahatan? Ini harus dikoreksi sehingga tidak ada korban lagi di kemudian hari,” tukasnya.

Bersama PBHI, para pihak yang juga mendorong amicus curiae ialah Jaringan Gusdurian, Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Infid, dan elemen masyarakat lainnya. (X-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ahmad Punto
Berita Lainnya