Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

Putusan MK Batalkan Pasal Kontroversial UU MD3 Diapresiasi

Micom
01/7/2018 10:15
Putusan MK Batalkan Pasal Kontroversial UU MD3 Diapresiasi
(Dok. Pribadi)

KETUA Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) RBA Jakarta Pusat, TM Mangunsong SH, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan dua pasal dan mengoreksi satu pasal kontroversial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3.

“DPR justru harus beryukur karena dengan putusan itu MK telah mengembalikan DPR ke ‘jalan yang benar’, sesuai tugas pokok dan fungsinya, karena DPR adalah pengayom rakyat, bukan berubah fungsi menjadi lembaga yang menakutkan bagi rakyat dengan berbagai kewenangan yang diada-adakan, seperti hak memanggil paksa dan memidanakan para pengkritiknya, tapi di sisi lain membentengi diri dengan hak imunitas dari panggilan penegak hukum. Legislatif jangan sampai mengambil alih fungsi yudikatif. Putusan MK itu progresif, sehingga kita apresiasi,” ungkapnya di Jakarta, Sabtu (30/6).

Seperti diberitakan, pada Kamis (28/6), MK dengan suara bulat mengabulkan sebagian permohonan judicial review (uji materi) terhadap UU MD3 yang diajukan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, yakni Pasal 73 terkait pemanggilan paksa pihak yang diperiksa DPR, Pasal 122 terkait penghinaan terhadap parlemen, dan Pasal 245 terkait pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana.

Terkait Pasal 73, MK berpendapat hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan perkara No 16/PUU-XVI/2018 itu dibacakan Hakim MK Anwar Usman yang juga Ketua MK.

Kewenangan DPR melakukan pemanggilan paksa ini semula diatur dalam Pasal 73 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5) dan Ayat (6) UU MD3. Dalam pasal tersebut, DPR berhak melakukan panggilan paksa setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah.

Panggilan paksa ini dilakukan dengan menggunakan kepolisian. Dijelaskan pula bahwa dalam menjalankan pemanggilan paksa, kepolisian dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 hari, suatu hal yang menurut TM Mangunsong berlebihan dan tidak patut.

Ia pun sependapat dengan MK bahwa pemanggilan paksa dan sandera merupakan ranah hukum pidana, sedangkan proses rapat di DPR bukan bagian dari penegakan hukum pidana.

“Sekali lagi, legislatif jangan mengambil alih fungsi judikatif,” tegas Managing Partner TM Mangunsong Law Firm and Partner ini.

Kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa, lanjut dia, juga bisa menimbulkan kekhawatiran yang berujung pada rasa takut setiap orang yang notabene rakyat yang diwakili DPR.

"Hal ini kontraproduktif, dan DPR  juga dianggap  telah mempertontonkan arogansi kelembagaan,” tegasnya.

Pembatalan Pasal 122 terkait penghinaan terhadap DPR atau contempt of parliament, menurut TM Mangunsong, juga sudah tepat, karena pasal ini bisa membungkam suara-suara kritis publik terhadap DPR.

"Mengkritik DPR bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap parlemen. Ini sangat ironis dan berbahaya dalam konteks negara demokrasi. DPR adalah representasi rakyat, sehingga tak boleh imun terhadap kritik rakyat. Bukankah DPR ini lembaga demokrasi yang mestinya menjunjung tinggi demokrasi dan tidak antikritik?” tanyanya.

Adapun Pasal 245 terkait pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana, kata Mangunsong, selain bertentangan dengan konstitusi, juga melawan prinsip equality before the law(kesetaraan di muka hukum), sehingga langkah MK mengoreksi pasal tersebut, di mana untuk memeriksa anggota DPR hanya perlu izin dari Presiden, tak perlu rekomendasi MKD, sudah tepat.

“Kalau tidak dikoreksi, MKD bisa menjadi alat DPR untuk melindungi oknum-oknum anggotanya yang bermasalah. Jangan sampai MKD menjadi bunker bagi anggota DPR,” pintanya.

Ia kemudian meminta DPR mematuhi dan melaksanakan apa yang sudah diputuskan lembaga peradilan penegak konstitusi ini, karena putusan MK itu bersifat final dan mengikat (final and bidding).
"Tak tersedia upaya hukum lain bagi DPR, misalnya banding atau kasasi, karena putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Mau tidak mau, suka tidak suka, DPR harus terima,” tandasnya. (RO/OL-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya