Headline

Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.

Fokus

Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.

Vonis terhadap Korban Persekusi Kampung Gadog Dinilai Jauh dari Keadilan

Micom
30/4/2018 19:55
Vonis terhadap Korban Persekusi Kampung Gadog Dinilai Jauh dari Keadilan
(Ist)

MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, yang diketuai oleh Kony Hartanto kembali menunjukkan wajah peradilan sesat dengan menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun kepada Alnodly Bahari, korban persekusi di Kampung Gadog, dengan disertai denda Rp100 juta. Putusan tersebut dijatuhan kepada Alnoldy atas dakwaan Pasal 45A Ayat (2) jo Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sepanjang berlakunya UU ITE, dan kasus-kasus berdasarkan Pasal suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) UU ITE, pidana yang dijatuhkan kepada Alnoldy adalah pidana kedua terberat yang pernah ada sepanjang sejarah, setelah putusan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta terhadap Sandy Hartono di Pontianak, Kalimantan Barat, pada 2011.

Kesesatan Majelis Hakim ditunjukkan melalui putusan Majelis Hakim yang sama sekali tidak memasukkan fakta persidangan dengan utuh, sebagaimana yang terungkap di muka persidangan. Pembelokan dan penambahan fakta persidangan oleh Majelis Hakim pun terjadi. Dengan demikian dapat disimpulkan Majelis Hakim telah merekayasa fakta persidangan.

"Majelis Hakim juga hanya menggunakan keterangan para saksi dan ahli yang memberatkan terdakwa untuk membangun fakta sehingga berujung pada peristiwa dan analisis hukum yang sesat. Majelis Hakim bukannya melakukan analisis unsur pidana dengan menggunakan teori dan doktrin hukum, melainkan memakai analisis bahasa dengan menggunakan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)," kata kuasa hukum Alnoldy dari LBH Jakarta, Pratiwi Febry, melalui keterangan tertulis, Senin (30/4).

Pratiwi menambahkan, hal ini jelas menjauhkan keadilan dari terdakwa pada proses persidangan. Sikap Majelis Hakim yang tidak imparsial memang sudah ditunjukkan sejak awal persidangan kasus Alnodly sampai proses pembuktian. Kecacatan dalam proses penyelidikan dan penyidikan kembali diabaikan oleh Majelis Hakim.

"Pembelaan terdakwa dan penasihat hukum hanya menjadi sisipan dalam putusan Majelis Hakim tanpa pertimbangan yang jelas dan lengkap. Kalender persidangan yang tidak pernah disepakati oleh penasihat hukum dijadikan dasar untuk melanggar hak terdakwa dengan melewatkan pengajuan eksepsi terdakwa. Permintaan maaf dan sikap kooperatif terdakwa selama persidangan juga dianggap tidak ada oleh Majelis Hakim," imbuhnya.

Pemberatan justru diberikan oleh Majelis Hakim atas dasar keresahan masyarakat yang tidak jelas wujudnya dan sangat relatif serta tidak tertukur secara hukum.

Alat bukti yang cacat berupa hasil laboratorium forensik yang memeriksa status terdakwa yang berbeda dengan apa yang didakwakan kepada terdakwa tetap digunakan oleh Majelis Hakim sebagai pertimbangan di dalam putusannya.

Ketidakhadiran ahli forensik digital di muka persidangan guna menguji orisinalitas dan otentisitas status media sosial Facebook (FB) terdakwa diabaikan oleh Majelis Hakim. Double opzet atau unsur kesalahan berlapis gagal dibuktikan oleh penuntut umum dan hal tersebut justru dibenarkan oleh Majelis Hakim.

"Penjabaran dan penjelasan terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kemerdekaan beragama dan berkeyakinan yang telah dikirimkan oleh 2 organisasi masyarakat ELSAM dan ILRC dalam bentuk amicus curiae atau sahabat peradilan pun diabaikan oleh Majelis Hakim," kata Pratiwi lagi.

Ruangan sidang utama PN Pandeglang disesaki puluhan massa aksi dan dalam waktu bersamaan massa juga menggelar aksi yang dipenuhi teriakkan dan ancaman. Mereka menuntut Alnoldy dipidana seberat-beratnya dengan mengatakan, mereka akan menghormati putusan pengadilan, tapi kalau tidak diputus maksimal 5 tahun mereka siap ganyang.

"Hal ini jelas merupakan pernyataan ancaman kepada Majelis Hakim. Bahkan beberapa kali pengunjung sidang yang merupakan massa aksi melakukan tindakan-tindakan yang melanggar tata tertib persidangan. Seperti sidang-sidang sebelumnya Majelis Hakim mengabaikan dan tidak menegur mereka. Terlihat dalam kerumunan massa aksi Ketua MUI Kabupaten Pandeglang, Ketua MUI Kecamatan Carita, Ketua FPI Ilyas dan laskarnya," ujarnya.

Berdasarkan keseluruhan fakta persidangan tersebut, LBH Jakarta sebagai kuasa hukum terdakwa menyatakan mengecam putusan Majelis Hakim PN Pandeglang atas nama Terdakwa Alnodly Bahari yang merupakan produk dari peradilan sesat.

"Kami meminta Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memeriksa ketiga hakim dalam perkara Alnodly Bahari. Selain itu kami juga meminta Komisi Kejaksaan untuk memroses laporan yang telah kami masukan atas 8 orang penuntut umum yang telah memproses perkara ini dengan penuh kesesatan dan kecacatan. Kepada Komisi Kepolisian Nasional, kami juga meminta untuk segera memproses oknum-oknum serta pejabat kepolisian yang telah bertindak melanggar SE Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian dengan mengabaikan perdamaian yang telah terjadi antara masyarakat Kampung Gadog dan Alnoldy serta isterinya, serta terus menaikkan perkara ini sehingga terjadinya eskalasi konflik di tengah masyarakat," pungkasnya. (RO/OL-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya