Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
JUMLAH calon kepala daerah perempuan dalam Pilkada serentak 2018 meningkat jika dibandingkan dua pilkada serentak sebelumnya. Meski begitu, afirmasi politik terhadap kaum hawa masih rendah.
Faktor nepotisme sangat kental. Kebanyakan calon kepala daerah perempuan diusung karena merupakan kader parpol dan punya hubungan kekerabatan dengan petinggi parpol dan petahana.
"Kalaupun itu kader, biasanya punya kekerabatan yang kuat dari atau di parpol pengusung. Golongan aktivis perempuan, dari LSM, atau perempuan pada umumnya susah masuk. Ini masih jadi persoalan," ujar Ketua Umum Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Dwi Septiawati Djafar dalam diskusi di Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, kemarin.
Pilkada serentak 2018 diikuti 101 perempuan atau sekitar 8,85% dari total 1.140 pendaftar. Para perempuan itu maju sebagai calon kepala daerah atau wakil.
Menurut kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), persentase perempuan yang bertarung di pilkada kali ini naik jika dibandingkan Pilkada 2015 yang angkanya sebesar 7,47% dan Pilkada 2017 sebesar 7,17.
Dari 101 pendaftar perempuan itu, sebanyak 43% di antaranya merupakan kader partai dan 39% merupakan jaringan kekerabatan. "Regulasi memang membuka ruang dengan keterwakilan 30%. Namun, itu masih di pusat. Seharusnya di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota juga seperti itu. Supaya bisa muncul perempuan-perempuan di dunia politik," ujar Septi, sapaan Septiawati.
Pendapat senada diungkapkan Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana. Menurut dia, para petinggi parpol kerap menganggap keterwakilan perempuan sekadar syarat untuk dipenuhi oleh parpol.
"Ada pandangan bahwa keterwakilan itu hanya menyusahkan. Seharusnya ada iktikad untuk mendorong perempuan untuk maju berpolitik," ujar Lena.
Dalam menanggapi faktor nepotisme dalam keterwakilan perempuan di politik, Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana berpandangan berbeda. Ia menilai fenomena perempuan yang sukses menjadi kepala daerah karena kekuatan kekerabatan dan dinasti politik merupakan hal yang lumrah.
"Hal ini juga terjadi di berbagai negara di Asia, di Pakistan, India dan lainnya. Yang penting itu bagaimana agar dinasti politik itu dimaknai untuk meningkatkan keterwakilan, tetapi tetap juga jaga kualitas," tutur Aditya.
Jaga integritas
Para perempuan yang kini memegang jabatan publik sebagai kepala daerah diingatkan agar menjaga integritas dan bersih dari korupsi. Menurut Lena, integritas mereka turut memengaruhi kesempatan perempuan berkiprah di politik.
"Kalau ada perempuan yang kena OTT (operasi tangkap tangan) KPK, itu menghambat gerakan perempuan. Jadi bukan hanya kuantitas dan kualitas yang harus ditingkatkan. Integritas juga penting," cetusnya.
Bukan hanya di pilkada, kiprah perempuan di pemilu pun masih sekadarnya. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan perlu ada aturan khusus yang diciptakan guna mengafirmasi keterwakilan perempuan dalam pentas pemilu.
"Misalnya, syarat gabungan kursi itu bisa dikurangi kalau untuk calon perempuan. Tidak perlu sampai 20%," ujar dia.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan Pemilu 2019 harus jadi momentum meningkatkan keterwakilan perempuan di ranah politik praktis. "Karena keterwakilan di DPR dan DPD itu menurun pada 2014. Ini harus jadi perhatian kita semua, khususnya parpol. (P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved