Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
KOMISI untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai sejumlah insiden persekusi dan penyerangan berdimensi agama merupakan ancaman serius di tahun politik. Masyarakat diharapkan tidak terpancing dengan rangkaian peristiwa kekerasan itu dan sebaiknya menyerahkan penyelesaian perkara kepada pemerintah.
Ketua Kontras Yati Andriyani, mengatakan penyerangan terhadap umat maupun pemuka agama yang terjadi belakangan ini telah mengoyak keprihatinan terhadap kebebasan beragama dan beribadah di Tanah Air. Tindakan tersebut merupakan bentuk teror yang harus diungkap dengan sistematis, termasuk motif dan aktor utamanya.
"Pengungkapan kasus kekerasan itu sebaiknya tidak dilihat secara terpisah kasus per kasus. Pun dimensi politik jelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 juga harus menjadi pertimbangan," ujar Yati melalui keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia, Senin (12/2).
Menurut dia, cara pengungkapan kasus itu bertujuan untuk mencegah para pihak manapun mengambil keuntungan politik pada perhelatan pesta demokrasi dengan menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (Sara). Upaya konkret pemerintah menyikapi persoalan itu juga dapat mencegah timbulnya perpecahan di masyarakat.
Ada tiga poin desakan Kontras atas sejumlah peristiwa tersebut. Pertama, seluruh elemen pemerintah terkait perlu melakukan pelbagai langkah preventif terhadap meluasnya tindakan dan efek lanjutan dari peristiwa itu. Kedua, pihak kepolisian harus mengusut kasus-kasus tersebut dengan sistematis, mencari aktor di balik insiden, dan membeberkan motif kejahatannya.
"Terakhir, Komnas HAM, Bawaslu, dan kepolisian sedianya mengambil langkah tegas terhadap individu, serta kelompok atau parpol yang menggunakan isu Sara atau mengambil keuntungan dalam kontestasi Pilkada 2018," katanya.
Sepanjang 2017 Kontras mencatat telah terjadi 75 peristiwa kekerasan berdimensi agama dan keyakinan. Wilayah yang dominan terjadi persekusi atas nama agama, antara lain Jawa Barat (17 kasus), Jawa Tengah (13), Jawa Timur (7), dan Banten (7). Sejumlah kasus itu muncul sebagai ekses dari Pilkada DKI di tahun yang sama.
"Kami khawatir peristiwa-peristiwa penyerangan, kekerasan, intimidasi, dan persekusi serupa akan terus terjadi sepanjang 2018. Apalagi di tahun politik ini sebanyak 171 wilayah bakal menggelar pilkada serentak."
Indikasi berulangnya kasus serupa, imbuh dia, sudah terlihat dengan peristiwa penyerangan terhadap jemaat Gereja St Lidwina, Sleman, Yogyakarta, Minggu (11/2). Penyerangan yang dilakukan seorang pemuda dengan menggunakan sebilah pedang saat perayaan ekaristi, itu melukai empat jemaat dan mencederai Romo Karl Edmun Prier SJ yang tengah memimpin misa, termasuk seorang anggota Korps Bhayangkara yang berusaha menghentikan ulah pelaku.
Pada 28 Januari 2018 juga terjadi penganiayaan terhadap pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah, KH Umar Basri. Korban diserang seusai menjalankan ibadah salat subuh di Musala Al Mufathalah, Cicalengka, Bandung, Jawa Barat.
Berikutnya, Kepala Operasi Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Ustadz R Prawoto tewas setelah dianiaya oleh orang tak dikenal pada Kamis (1/2). Bahkan, persekusi juga menimpa Bhiksu Mulyanto Nurhalim yang dipaksa meninggalkan kediamannya di Desa Babat, Kecamatan Legok, Tangerang, Banten. (OL-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved