MENUTUP 2017 ada sejumlah catatan menghawatirkan terkait Pers Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memaparkan, meski secara indeks lebih baik dibandingkan lima tahun belakangan, namun posisi Indonesia masih berada di bawah sejumlah negara di Asia.
Indonesia berada pada peringkat 124 dari 180 yang disurvei berdasarkan peringkat Reporters Without Borders (Reporters Sans Frontiers/RSF).
Ketua AJI Indonesia Abdul Manan menyampaikan, kebebasan pers tidak lepas dari jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Walaupun angkanya fluktuatif, tapi jumlahnya masih signifikan. Untuk 2017, AJI mencatat 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis/media terjadi.
Itu meliputi kekerasan fisik (30 kasus), perampasan alat atau data hasil liputan (5 kasus), pengusiran atau pelarangan liputan (13 kasus), ancaman atau teror (6 kasus), pemidanaan/kriminalisasi (5 kasus) dan mobilisasi massa atau penyerangan kantor redaksi (1 kasus).
"Ini seperti mengulang tiga tahun lalu, terbanyak pada 2017 berupa kekerasan fisik, yaitu 30 kasus, pada 2016 ada 36 kasus sedangkan 2015 sebanyak 20 kasus. Kekerasan fisik terbanyak kedua adalah pengusiran jurnalis, ketiga ancaman kekerasan atau teror," tutur Manan saat konferensi pers Catatan Akhir Tahun AJI 2017 soal Situasi Pers di Indonesia, di Jakarta, Rabu (27/12).
Masyarakat atau warga, sambungnya, menjadi salah satu yang terbanyak menjadi pelaku kekerasan. Pada 2017, AJI mencatat 17 kasus kekerasan dilakukan oleh warga. Sedangkan pelaku kedua yaitu polisi (15 kasus) dan pejabat pemerintah (7 kasus).
Di tempat yang sama, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Hesthi Murthi menyampaikan masih terdapat sejumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang belum selesai. Salah satunya kasus kekerasan fisik yang terjadi di Medan, Sumatera Barat pada Agustus 2016. Tujuh jurnalis, salah satunya perempuan, menjadi korban dugaan kekerasan yang dilakukan anggota TNI Angkatan Udara.
Selain kasus kekerasan, AJI juga menyoroti profesionalisme dan etika jurnalis. Berdasarkan monitoring terkait potret etika dari pengaduan yang disampaikan ke Dewan Pers, kecenderungan pelanggaran kode etik masih signifikan. Tahun 2017 ini terdapat 600 pengaduan ke Dewan Pers.
AJI menganggap banyaknya pengaduan dugaan pelanggaran kode etik ke Dewan Pers dapat diartikan dua sisi. Di satu sisi, semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa mekanisme penyelesaian pemberitaan melalui Dewan Pers, di sisi lain hal itu menunjukan tingkat ketidakpuasan publik terhadap pers.
Menurut Manan, ketataatan jurnalis terhadap kode etik berkaitan erat dengan kekerasan terhadap jurnalis. AJI mengingatkan kepada jurnalis untuk senantiasa mematuhi kode etik dan menunjung tinggi profesionalisme untuk meminimalkan peluang dijadikan korban kekerasan. Sebab, 2018 adalah tahun politik, sehingga potensi kekerasan terhadap jurnalis dapat terjadi.
"Saat momentum politik pada 2018 mendatang. Perilaku jurnalis yang terseret kepentingan politik menjadi salah satu pemicu mendorong terjadinya kasus kekerasan terhadap wartawan," ucap Manan.
Terlebih lagi, regulasi masih membuka potensi ancaman terhadap jurnalis. AJI menganggap sejumlah hukum positif di Indonesia masih membuka celah yang bisa mengancam kebebasan pers seperti UU KUHP, UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan rancangan UU Penyiaran.
Isu lain yang mengemuka adalah ketenagakerjaan yang berkaitan dengan kesejahteraan jurnalis. Tahun 2017 tercatat sebagai tahun yang kurang menggembirakan. Kelesuan ekonomi media berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) para jurnalis.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia Aloysyius Budi Kurniawan menyampaikan tantangan yang dihadapi media saat ini adalah digitalisasi. Di tengah tantangan baru masalah kesejahteraan jurnalis masih menjadi pekerjaan rumah.
"Digitalisasi melesat, tapi kesejahteraan jalan di tempat. Media online di Indonesia mencapai 4.000 jumlahnya. Tetapi upah yang dibayarkan masih belum menyejahterakan," ujar Wawan, panggilan Kurniawan.
Kasus dugaan persekusi turut dialami oleh seorang jurnalis Zulfikar Akbar. Dia mengalami tindakan intimidatif di sosial media setelah berkomentar mengenai kejadian deportasi yang menimpa Ustaz Abdul Somad. Karena kejadian itu, Zulfikar diancaman dan dintimidasibahkan juga mengarah pada tempatnya bekerja PT TopSkor, manajemen TopSkor memutuskan PHK secara sepihak.
Memanggapi hal tersebut, AJI Indonesia menganggap apa yang disampaikan oleh Zulfikar adalah bagian dari berekspresi. AJI menyayangkan tindakan intimidatif yang dilakukan masyarakat terhadapnya di sosial media.
"AJI menganggap itu menjadi preseden tidak baik dari masyarakat. Hal tersebut dapat menjadi modus mengintimidasi media dan jurnalis. Kami juga meminta perusahaannya meninjau ulang kebijakan PKH kecuali ada alasan pelanggaran yang jelas atau melanggar ketentuan perusahaan," pungkas Manan. (OL-4)