Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

NasDem Minta Fraksi Pendukung Jokowi Solid

Astri Novaria
01/7/2017 12:01
NasDem Minta Fraksi Pendukung Jokowi Solid
(Anggota Pansus RUU Penyelenggara Pemilu dari Fraksi Partai NasDem di DPR, Syarif Abdullah Alkadrie---MI/Susanto)

ANGGOTA Pansus RUU Penyelenggara Pemilu dari Fraksi Partai NasDem di DPR, Syarif Abdullah Alkadrie menyatakan partai-partai pendukung Presiden Joko Widodo harus konsisten mendukung pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu).

Pemerintah menginginkan presidential threshold (PT) dalam RUU Pemilu di angka 20%. Menurut dia, fraksi-fraksi pendukung Jokowi sudah selayaknya ikut mendukung kebijakan itu.

"Kalau partai pendukung konsisten, seharusnya sudah selesai pembahasan RUU Pemi-lu," kata Syarif saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta, kemarin (Jumat, 30/6).

Dia menegaskan, NasDem tidak mempermasalahkan berapa pun besaran PT. Oleh karena itu, sebagai pendukung pemerintah, fraksinya konsisten mendukung usulan 20%. Apalagi, angka tersebut telah digunakan pada tiga kali pemilu.

Dia pun berharap agar pengambilan keputusan lima isu krusial dalam RUU Pemilu termasuk PT nanti tidak ber-akhir dengan voting. "Kami ini menghindarkan voting," pungkasnya.

Anggota Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi Partai Hanura Rufinus Hotmaulana Hutauruk menambahkan pihaknya menyodorkan opsi jalan tengah, yaitu ambang batas pencalonan presiden sebesar 10-15%.

"Fraksi Hanura memberi jalan tengah untuk menjaga proses diskusi ke arah yang lebih baik. Kami berharap lobi-lobi tetap dimaksimalkan hingga batas akhir pengambilan keputusan. Kita berharap semua ini pakai musyawarah mufakat," kata Rufinus.

Keterlibatan Jokowi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut keterlibatan presiden dalam pembahasan RUU Pemilu saat ini sangat dibutuhkan.

Pasalnya, pembahasan RUU Pemilu semakin molor akibat kebuntuan dalam proses pembahasan beberapa isu krusial seperti presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik.

Titi menilai saat ini kebuntuan yang terjadi harus segera diurai para pengambil keputusan dan dalam hal ini otoritas tertinggi ada di presiden.

Keterlibatan presiden langsung untuk mempercepat proses kesepakatan dalam pembahasan RUU Pemilu juga dinilai dapat segera mengakhiri segala spekulasi dan kesimpangsiuran yang terjadi. Keterlibatan presiden pun bisa dalam bentuk dialog langsung dengan para pembuat kebijakan.

"Dengan dialog dan komunikasi antarpara pembuat kebijakan semoga ada titik temu dilandasi iktikad baik untuk mengedepankan kualitas Pemilu 2019 dan kepentingan bangsa sebagai yang utama," kata Titi.

Titi juga menilai presiden memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan RUU Pemilu karena dibahas dan diusulkan pada masa pemerintahannya.

Kegagalan pemerintahan di periode ini untuk memproduksi produk hukum Pemilu yang baru dan komprehensif pun akan menjadi citra buruk terutama bagi presiden.

"RUU Pemilu ini kan pertaruhan citra dan kinerja Pemerintahan Jokowi juga. Kalau pemilu 2019 berkualitas buruk, pemerintahan Jokowi bisa dianggap gagal dalam konsolidasi demokrasi," ujarnya.

Lebih jauh Titi menambahkan RUU Pemilu ini terlalu ambisius karena memaksakan memasukkan poin-poin yang menurutnya membutuhkan proses panjang dalam pembahasannya.

Ia mencontohkan soal penambahan kursi anggota DPR sebanyak 15 kursi, penambahan jumlah komisioner KPU dan Bawaslu, dan pembiayaan pelatihan saksi yang dibebankan pada negara melalui APBN.(Put/P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik