DESAKAN agar Mahkamah Konstitusi mengabaikan syarat maksimal 2% selisih untuk bisa menggugat hasil Pilkada menguat. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Ketua MK Arief Hidayat mengatakan jika masyarakat tidak setuju dengan ketentuan itu, sebaiknya mengajukan judicialreview ke MK. "MK memang punya kewenangan judicial review. Ini harus dicatat sehingga kalau ada masyarakat pemerhati pilkada keberatan dengan UU tersebut, kenapa tidak judicial review Pasal 158. MK punya kewenangan lakukan judicialreview itu kalau ada permohonan masuk yang berkaitan dengan hal yang bertentangan dengan UUD 1945," ujar Arief saat dihubungi, kemarin.
Arief mengatakan, MK tidak bisa menggugurkan suatu aturan atau undang-undang tanpa melalui pengujian materi atau judicial review. Terkait pelaksanaan Pasal 158 UU Pilkada, Arief mengatakan tidak serta-merta pasal itu digunakan dalam penanganan sengketa pilkada. Karena itu, lanjut Arief, MK akan memeriksanya di persidangan.
"MK tidak serta-merta gunakan Pasal 158 itu. Prosesnya ada meneliti mengkaji, seluruh 147 permohonan yang masuk itu. Nanti tanggal 4-5 gelar perkara internal, tanggal 7 mulai persidangan, nanti pemohon kita minta ajukan bukti, apa permohonannya dan apa buktinya. Jadi, tidak serta-merta," ujar Arief.
Jika ada selisih suara jauh dari 2%, Arief mengatakan hal itu pun akan diperiksa dahulu di MK. Jika memang pemohon mempunyai bukti yang kuat, MK akan mempertimbangkannya. "Nah, kalau selisih suaranya jauh, buktinya ada, lihat dulu buktinya meyakinkan atau tidak," beber Arief.
Sementara itu, saat menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan judicial review tentang syarat 2% ajukan pilkada sudah pernah diajukan ke MK. Namun, kata Titi, pada saat itu, MK mengatakan aturan itu open legal policy dari pembuat undang-undang, dalam hal ini DPR.
Untuk selanjutnya, dalam waktu dekat ini, Titi mengatakan sebaiknya MK mengabaikan Pasal 158 tersebut demi memperhatikan warga negara yang mencari keadilan. "MK sebenarnya bisa mengabaikan dahulu Pasal 158 itu kalau dikhawatirkan akan banjir sengketa. Dalam persidangan, bisa diperiksa panel hakim apakah syarat dan kelengkapan berkas sudah terpenuhi," tuturnya.
Bukan sekedar angka Sementara itu, peneliti Perludem Fadli Ramadhanil meminta agar MK tidak hanya menangani perselisihan hasil perolehan pilkada saja, tetapi juga harus mengadili adanya dugaan kecurangan dalam pilkada serentak 9 Desember lalu sehingga MK menangani sengketa pilkada secara utuh dan lengkap.
Pasalnya, jika berdasarkan persyaratan maksimal selisih 2% itu dari 147 gugatan yang masuk ke MK, Perludem memprediksi hanya ada 22 atau 23 gugatan yang akan diteruskan ke persidangan selanjutnya.
Fadli juga mengatakan MK mestinya mempertimbangkan faktor-faktor lain saat menentukan apakah permohonan gugatan sengketa pilkada tersebut layak untuk dibahas tim panel atau tidak. (P-4)