JABATAN hakim lekat dengan julukan 'wakil Tuhan'. Untuk itu, hakim pun dituntut untuk bisa memiliki sifat layaknya sifat Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi, yakni tidak mempunyai sifat tercela atau bahkan tidak mendekati sifat tercela. Jika tidak, pencari keadilan tidak bisa mendapatkan hak-hak dari para 'wakil Tuhan' tersebut.
Namun, kenyataannya hakim tetap saja manusia biasa yang bisa bertindak tercela dengan godaan yang datang baik dari dalam maupun luar. Berdasarkan data dari Komisi Yudisial (KY), laporan masyarakat mengenai pelanggaran kode etik hakim yang masuk ke KY masih tinggi.
Pada 2010, tercatat sebanyak 1.452 laporan, sedangkan 2013 melonjak hingga 2.244 laporan dan 2014 sebanyak 1.964 laporan. Pada Januari-Oktober 2015, ada sebanyak 1.012 laporan.
Sepanjang 2015, pelanggaran kode etik yang tercatat mulai kasus perselingkuhan, bertindak asusila, mengonsumsi narkoba, bertemu dengan pihak berperkara, hingga sampai menerima suap.
Lalu mengapa masih banyak hakim yang melanggar kode etik kendati selama 10 tahun terakhir mendapat pengawasan lebih ketat dengan kehadiran KY?
Saat ini, posisi KY dalam menjaga perilaku, harkat, dan martabat hakim pun mulai di ujung tanduk. Usulan rekomendasi lembaga tersebut sering kali tidak digubris Mahkamah Agung (MA). Salah satu contohnya, rekomendasi KY yang menyedot perhatian publik terkait sanksi skors (nonpalu) selama enam bulan terhadap hakim Sarpin Rizaldi (30/6/2015). Saat itu, Sarpin menjadi hakim tunggal dalam perkara gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan.
KY menilai Sarpin melanggar sejumlah prinsip sebagai hakim sehingga layak mendapatkan sanksi. Namun, MA menolak rekomendasi tersebut dengan alasan KY telah melampaui kewenangannya.
Peristiwa berlanjut dengan penetapan tersangka oleh Bareskrim Polri terhadap dua pimpinan KY, Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri, yang dianggap telah mencemarkan nama baik hakim Sarpin.
KY sebagai benteng awal dalam menjaga harkat dan martabat hakim kian terkikis dengan pemangkasan kewenangan seleksi hakim. Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) untuk tidak memberikan wewenang kepada KY dalam memilih hakim tingkat pertama. Wewenang itu dikembalikan ke MA pada 7 Oktober 2015. Kini KY hanya berwenang menyeleksi hakim agung.
Padahal, dengan keterlibatan KY dalam seleksi hakim tingkat pertama, diharapkan harkat dan martabat hakim bisa dikawal sejak awal. Pola rekrutmen yang tidak transparan lantaran dilakukan satu pihak, yakni hanya oleh MA, memperlebar celah masuknya hakim tercela.
Terlepas dari itu semua dan dengan kewenangan yang terbatas, rekomendasi sanksi yang bisa membuat efek jera bagi hakim yang berperilaku menyimpang masih dinanti. Publik berharap para 'wakil Tuhan' mampu menjaga integritas mereka ketika mengetuk palu. (P-1)