Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
Ada alat yang sangat berguna dan sudah mewarnai kehidupan manusia modern, yang kita kenal dengan sebutan speaker. Kata itu diambil dari loudspeaker dan keduanya oleh orang Indonesia dipadankan dengan pengeras suara.
Sejarah loudspeaker, berdasarkan Wikipedia.org, dimulai ketika Johann Philipp Reis memasang loudspeaker elektronik dalam telepon yang dibuatnya pada 1861. Alat itu mengubah sinyal audio elektris menjadi suara. Alexander Graham Bell mematenkan loudspeaker elektronik untuk teleponnya pada 1876.
Sejak itu, loudspeaker dipakai untuk mendukung banyak alat, dari telepon hingga alat pemutar musik atau film. Kata loudspeaker bahkan dipakai untuk judul film karya Joseph Santley pada 1934, judul album instrumental gitaris Marty Friedman pada 2006, dan nama grup musik dari Georgia yang dibentuk pada 2009. Dewasa ini orang lebih akrab dengan istilah computer speaker atau multimedia speaker.
Di Indonesia meski speaker sudah dipadankan dengan pengeras suara, orang tetap lebih familier dengan speaker. Dalam teks di media cetak, terutama media spesialis musik dan komputer, speaker tidak diperlakukan sebagai unsur asing sehingga penulisannya tidak dikursifkan. Karena tidak dianggap sebagai unsur asing, penulisannya pun menggunakan kaidah diterangkan-menerangkan, speaker komputer, speaker multimedia, atau speaker stereo.
Meski sudah muncul dengan perlakuan yang sama dengan kata lain dalam kosakata bahasa Indonesia, speaker tidak dimasukkan kamus acuan, dalam hal ini Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam kamus itu, lema yang terkait dengan pengeras suara ialah corong suara dan corong radio yang salah satu maknanya ‘pengeras suara’, salon yang bermakna ‘tempat pengeras suara’, dan tuang-tuang atau tetuang yang bermakna ‘corong pengeras suara’.
Mungkinkah speaker diserap sebagai kata dalam bahasa Indonesia? Mungkin saja. Dengan mengacu kaidah ea tetap dituliskan ea, speaker tetap speaker tanpa dikursifkan. Kalau mengacu pengindonesian kata sweater menjadi sweter (baju dari bahan tebal, dipakai pada waktu udara (cuaca) dingin; jaket) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita dapat menuliskan speker untuk serapan speaker.
Apakah memilih satu dari dua bentuk serapan ini, speaker atau speker, merupakan langkah yang terlalu memudahkan masalah? Bisa jadi. Namun, jangan buru-buru memandang negatif langkah itu sebagai terlalu memudahkan masalah. Ada bentuk-bentuk serapan dalam bahasa Indonesia yang bisa mengesankan langkah ‘memudahkan masalah’, misalnya gadget dan striker. Ada pula lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menurut saya terlalu memudahkan masalah, yakni sputnik.
Kata sputnik tanpa dikapitalkan diberi makna ‘satelit bumi buatan yang pertama kali diluncurkan oleh Uni Soviet, masa hidupnya 93 hari’. Kalimat contohnya ialah Sebuah pesawat sputnik berkali-kali mengitari bumi. Sputnik memang pesawat Rusia yang diluncurkan pertama kali pada 4 Oktober 1957. Dalam bahasa Rusia, sputnik sepadan dengan makna teman seperjalanan. Berapakah frekuensi pemakaian sputnik dalam penulisan ilmiah atau teks media massa di Indonesia dewasa ini (di luar tulisan ini, tentunya)? Apakah itu masih signifikan? Daripada memelihara sputnik dalam kamus itu, lebih baik memasukkan kata yang pemakaiannya tergolong tinggi dalam bahasa Indonesia, seperti speaker.
Namun, tunggu dulu, ternyata di kamus itu ada sepiker yang bermakna ‘pengeras suara’. Terlalu memudahkan masalah?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved