Tantowi Yahya, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Ketua Panja RUU Penyiaran
02/9/2015 00:00
(ANTARA/Agus Bebeng)
ADA hal menarik dan jarang terjadi dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo pada HUT ke-70 kemerdekaan RI di sidang bersaÂma DPR dan DPD di Senayan, Jakarta, Jumat (14/8). Presiden menyampaikan sejumlah hal, salah satunya menyinggung peran media penyiaran yang dinilainya hanya mengejar rating, tapi tidak meÂneguhkan nilai kebangsaan baÂgi masyarakat. Media penyiaran, kaÂta Jokowi, hanya mengejar raÂting keÂtimbang memandu publik untuk meneguhkan nilai keutamaan dan budaya kerja produktif. Di teÂngah mengemukanya berbagai perÂsoalan bangsa, media lebih seÂnang mendorong histeria publik deÂngan mengedepankan isu-isu yang berdimensi sensasional.
Hal serupa diungkapkan presiden saat bertemu 12 direktur program televisi Jumat (21/8) di Istana Negara. Padahal, media penyiaran sejatinya dapat menjadi salah satu instrumen terdepan dalam menjaga moralitas dan mentalitas bangsa.
Apa yang dikemukakan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Menjadi menarik karena disampaikan dalam sebuah pidato kenegaraan. Perhatikan data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2015, setelah melakukan survei bersama 9 perguruan tinggi negeri di 9 kota. Hasilnya menunjukkan kualitas program siaran televisi di bawah rata-rata alias belum sesuai harapan. Hasil survei pertama (Maret-April 2015), indeks yang didapat 3,25 dan pada survei kedua (Mei-Juni 2015) mengalami peningkatan yaitu 3,27%. Namun, hal itu masih di bawah standar ketentuan KPI, yaitu 4.
Tidak bisa disangkal, pemeringkatan (rating) ialah satu penyebab menurunnya kualitas tayangan. RaÂting telah memicu industri penyiarÂan berlomba-lomba memproduksi proÂgram dengan rating dan share tinggi dalam satu logika produksi buÂdaya populer; serbacepat, efisien, aktual, dan instan. Sementara itu, asÂpek kedalaman, kualitas, dan releÂvansi dikesampingkan. Orientasi berlebihan para pengelola media penyiaran terhadap hitung-hitungan rating teÂlah berdampak pada corak, karakter, dan kualitas tayangan-tayangan yang ada. Bukan dalam arti yang poÂsitif, melainkan dalam konteks akÂselerasi pendangkalan dan pembaÂnalan ruang publik penyiaran.
Rating itu penting Industri penyiaran ialah industri padat modal karena tingginya biaÂya sewa frekuensi, ongkos produkÂsi, serta perkembangan teknologi yang sangat cepat. Kegagalan memenuhi tiga hal tersebut menyebabkan satu lembaga penyiaran akan tertinggal dari yang lainnya. Tentu ini menjaÂdi mimpi buruk. Untuk bertahan (surÂvive), lembaga penyiaran mau tidak mau harus untung dan keuntungan hanya bersumber dari iklan. Banyak tidaknya iklan ditentukan tinggi rendahnya rating. Agar pesannya dilihat, pemasang iklan haÂnya menempatkan iklannya pada program-program dengan rating tingÂgi. Dengan demikian, rasionalitas komunikasi yang mensyaratkan kualitas tayangan tergeser oleh rasionalitas sasaran yang berorientasi pada raihan rating dan share.
Industri televisi merupakan industri dengan tingkat stres yang tinggi. SaÂlah satu pemicunya ialah (kembaÂli) rating. Lembaga penyiarÂan tiap haÂri berlomba menyajikan program yang digemari pemirsa meÂnurut panÂtauan lembaga survei. Dulu pendataan kepemirsaan (viewership) hanya berbasis durasi suatu program. Seiring deÂngan tajamnya persaingÂan, pemeringkatan menjadi per segÂmen, per menit, kemudian per deÂtik. Selera pemirsa dipantau melaÂlui people’s meter bahkan sampai berbaÂsis detik. Stressful, bukan? Rating menjadi panglima sebuah program bisa bertahan atau lenyap setelah satu dua episode saja. Setiap harinya penyelenggara penyiaran diÂhadapkan dengan hasil survei saÂtu-satunya lembaga surÂvei yang ada, yaitu Nielsen Media Research.
Sungguh tidak berÂlebihan jika presiden menyebut meÂdia (lembaga penyiaran televisi) haÂnya mengejar rating dan mengesampingkan tugas mulia; mengedukasi dan menÂcerdaskan masyarakat melalui program-program yang eduÂkatif dan informatif. Tugas mulia itu memang lebih banyak menjadi tanggung jawab TVRI sebagai lembaga penyiarÂan publik (LPP). Namun, sumber pendanaan LPP lebih banyak bersumber dari APBN yang jumlahnya terbatas. Dengan sendirinya ia tidak akan bisa bersaing dengan lembaga penyiaran swasta (LPS) dalam memproduksi dan menayangkan proÂgram-program yang menarik. UU PeÂnyiarÂan mengamanatkan freÂkuensi ialah ranah terbatas milik rakÂyat, yang penggunaannya haÂruslah untuk kepentingan dan kemaslahatan serta bermanÂfaat bagi rakyat dengan semaksimal-maksimalnya.
Rating menÂjadi masalah ketika mekanisme pemeringkatannya tiÂdak pernah terÂbuka. Akibatnya munÂcul pertanyaÂan, apakah raÂting layak diterima seÂÂbagai representasi selera masyarakat, ketika yang dijadikan responden jumlahnya kurang dari 2.500 keluarÂga (household) dan hanya 10 kota? Dalam keÂgelisahan seperti ini, penyelenggara televisi seolah tidak menghiraukan angka-angka yang diÂhadirkan satu-satunya lembaga survei tersebut.
Penyelenggara televisi harus selalu ingat bahwa medium yang mereka gunakan untuk sampai ke pemirsa adalah frekuensi milik masyarakat. Sebagai pemilik, suara mereka harus didengar tanpa meninggalkan misi LPS sebagai entitas bisnis yang harus untung. Komisi I DPR RI telah mengusulkan agar KPI diberikan wewenang untuk mengaudit lembaga pemeringkatan konten media siaran. Draf revisi UU PenyiarÂan juga mengusulkan agar KPI diberi tugas melakukan pengawasan terhadap sistem operasional penyelenggaraan penyurveian program-program televisi sehingga hasilnya dapat diÂpertanggungjawabkan. Para pengiklan yang punya tanggung jawab sosial tentu juga harus memikirkan kualitas tayangannya. Tentu tidak hanya KPI, pengiklan atau pengelola stasiun TV, kita semua punya tanggung jawab agar kuaÂlitas tayangan media penyiaran lebih meningkat lagi.