Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Keteladanan Berbangsa dan Bernegara

Muhammad Farid Fellow pada Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia
15/9/2016 00:15
Keteladanan Berbangsa dan Bernegara
(ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi)

PADA 12 September 2016 umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia merayakan Hari Raya Idul Adha yang dalam penanggalan hijriah jatuh pada tanggal 10 Zulhijah. Secara umum, Hari Raya Idul Adha sering disebut sebagai Hari Raya Kurban karena pada 10, 11, dan 12 Zulhijah umat Islam menyembelih hewan kurban atau kurban berupa sapi, kambing, domba, atau unta. Secara filosofis, apa sesungguhnya makna yang ingin disampaikan Allah SWT di balik peristiwa keagamaan ini?

Keteladanan Nabi Ibrahim as
Penyembelihan hewan kurban ini dilandasi leh riwayat Nabi Ibrahim as yang dengan ikhlas dan tanpa ragu-ragu menjalankan perintah Allah SWT untuk menjadikan anaknya, Nabi Ismail as (alaihisalam), sebagai kurban kepada Allah SWT. Akan tetapi, pada detik–detik terakhir yang menentukan, Allah SWT mengganti Ismail as dengan seekor hewan kurban. Tulisan ini tidak hendak menitikberatkan pada riwayat Hari Raya Kurban, tetapi lebih spesifik pada sosok Nabi Ibrahim as yang dapat dijadikan teladan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Nabi Ibrahim as dilahirkan di tengah-tengah masyarakat Kerajaan Babilonia di bawah pemerintahan Raja Namrud yang saat itu menyembah berhala. Bahkan, ayah Ibrahim sendiri yakni Aazar ialah seorang pembuat berhala yang ternama di Babilonia pada saat itu.
Di tengah-tengah suasana seperti itu, Ibrahim menerima wahyu dari Allah SWT mengenai Ketuhanan Allah SWT Yang Maha Esa dan Mahakuasa. Ketika menyampaikan wahyu itu kepada masyarakat, Ibrahim pun ditentang habis-habisan, sampai-sampai Ibrahim pun dihukum bakar seperti yang diceritakan dalam Alquran Aurat Al-Anbiyaa’ ayat 68: "Mereka berkata: 'Bakarlah dia dan bantulah Tuhan-Tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak'.” Akan tetapi, Ibrahim as selamat walau tubuhnya sudah dilalap api berkat pertolongan Tuhan. Masih banyak riwayat mengenai Ibrahim as dalam Alquran, tetapi kisah selanjutnya yang ingin disoroti oleh tulisan ini ialah mengenai sejarah Hari Raya Kurban.Nabi Ibrahim as hingga berusia renta masih belum dikaruniai seorang anak pun. Namun, setelah menunggu lama, akhirnya Tuhan menganugerahi Ibrahim dan istrinya, Hajar, seorang anak yang diberi nama Ismail yang kemudian oleh Tuhan ditunjuk sebagai seorang rasul.Secara psikologis, dapat dipahami bagaimana sukacita dan sayangnya Ibrahim as terhadap Ismail. Inilah anak yang sudah begitu lama diidam-idamkan Ibrahim yang sudah sangat tua. Namun, di tengah-tengah suburnya cinta kasih Ibrahim terhadap anak semata wayangnya, tiba-tiba Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk mengurbankan anaknya, Ismail. Secara mengejutkan, sang anak Ismail as dengan ikhlas menerima perintah Allah SWT kepada ayahnya.

Konsisten dan rela berkorban
Kisah-kisah mengenai Ibrahim as tentu saja berada dalam dimensi rohani atau keagamaan. Akan tetapi, apa yang dicontohkan Ibrahim as dalam kisah-kisah tersebut dapat diambil esensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, Indonesia ialah negara dengan dasar Pancasila yang sila pertamanya jelas-jelas menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengenai nilai-nilai kerohanian ini, konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dalam pasal 29 ayat 1 menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Penegasan dasar negara dan konsitusi mengenai ketuhanan merupakan keterangan gamblang bahwa Indonesia mengadopsi nilai-nilai rohaniah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara walaupun Indonesia bukan merupakan negara agama. Pada konteks inilah, momen peringatan Hari Raya Idul Adha yang sangat erat kaitannya dengan riwayat Nabi Ibrahim as menjadi sangat relevan untuk direnungi dalam konteks berbangsa dan bernegara. Salah satu teladan yang dapat dipetik dari kisah Ibrahim as ialah konsistensi. Konsistensi inilah yang membuat Ibrahim as tidak takut dengan berbagai ancaman apa pun, bahkan ketika harus berhadapan dengan hukuman dibakar. Sikap yang konsisten ini sebenarnya tidak terbatas pada dimensi rohaniah atau keagamaan semata sebab agama pada hakikatnya ialah penuntun moral bagi manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia. Dalam dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, spirit konsistensi seperti ini hendaknya dimiliki bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadim dan keadilan sosial. Hanya dengan sikap yang konsisten inilah bangsa Indonesia mampu mencapai tujuan nasional di tengah-tengah tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, baik yang datang dari dalam maupun luar. Dalam upaya ‘melindungi segenap bangsa Indonesia’, hukum atau keadilan harus secara konsisten ditegakkan kepada seluruh warga tanpa membeda-bedakan latar belakang atau status sosial warga. Tanpa konsistensi dalam penegakan hukum, akan ada sebagian warga yang merasa tidak dilindungi. Lebih lanjut, inkonsistensi dalam penegakan hukum akan menciptakan suasana penuh ketidakpastian yang pada gilirannya justru menghambat pembangunan dalam upaya mencapai tujuan nasional. Teladan lain dari riwayat Ibrahim as ialah sikap rela berkorban. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sikap rela berkorban sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan nasional. Sebagai salah satu contoh, anak-anak bangsa yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi dan pengalaman hidup di negara-negara maju dapat menunjukkan sikap rela berkorban dalam upaya ‘memajukan kesejahteraan umum’ dan ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Dalam konteks ini, bagaimana seorang anak bangsa dapat menunjukkan sikap rela berkorbannya? Dengan pendidikan tinggi dan pengalaman yang didapat di negara-negara maju, seorang anak bangsa tentu memperoleh kesempatan besar untuk mengembangkan diri dan kariernya di luar negeri. Tidak mengherankan jika kembali ke Tanah Air tidak menjadi pilihan bagi sebagian anak bangsa karena berbagai alasan. Salah satunya suasana yang penuh ketidakpastian dalam mengembangkan karier. Ini tentu pilihan realistis dan tidak dapat disalahkan. Di sinilah sebenarnya tantangan terbesar bagi anak-anak bangsa yang telah mendapat kesempatan mengenyam pendidikan dan pengalaman di negara-negara maju untuk turut membangun bangsa. Kurangnya penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki, serta tidak adanya kepastian akan pengembangan diri dan karier merupakan tantangan yang sangat besar. Untuk itu, kesediaan mereka untuk kembali ke Tanah Air dan turut serta dalam upaya mencapai tujuan nasional dapat dipandang sebagai suatu wujud kerelaan untuk berkorban. Tentunya, negara harus merespons positif anak-anak bangsa yang telah rela berkorban seperti itu. Tentunya masih banyak contoh sikap konsisten dan rela berkorban yang dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang jelas, momen Hari Raya Idul Adha ini dapat dijadikan renungan bagi kita semua: sudahkah kita bersikap konsisten dan rela berkorban demi bangsa dan negara?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya