Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
FACEBOOK sebagai media sosial terpopuler sejagat, menurut Statista.com, saat ini digunakan 1,59 miliar orang. Itu artinya Facebook juga menguasai data diri dan perilaku orang dengan jumlah yang sama. Hal ini terjadi karena sejak pertama kali melakukan registrasi, pengguna Facebook sebenarnya telah menyerahkan data diri kepada Facebook. Demikian juga ketika kemudian secara aktif membuat status, menceritakan aktivitas sehari-hari, mengunggah foto, memberi komentar atau 'like' atas status orang lain, mereka sesungguhnya sedang membiarkan diri terekam dan teridentifikasi oleh Facebook. "Facebook layaknya saudara serumah. Dia mengetahui banyak tentang kita dan terus-menerus berinteraksi dengan kita." Demikian kata Associate Editor di Money Morning Tara Clarke. Dalam kaitan inilah para pakar komunikasi beberapa tahun terakhir memperbincangkan fenomena surveillance capitalism. Tanpa banyak disadari, penyedia layanan media sosial dan mesin pencari seperti Facebook, Google, Youtube, Twitter sebenarnya selalu memata-matai para pengguna mereka. Raksasa teknologi digital itu melacak dan merekam identitas diri, kebiasaan, dan perilaku (behavioral data) para pengguna. Mereka menyediakan berbagai aplikasi digital, tetapi dengan aplikasi itu pula mereka mampu melacak kendaraan yang kita gunakan, tempat tinggal kita, restoran yang sering kita kunjungi, barang yang kita koleksi, liburan yang kita dambakan, gangguan kesehatan kita, dan seterusnya.
Data perilaku kemudian bertransformasi menjadi surplus perilaku (behavioral surplus) ketika penghitungan algoritma dan intelijen artifisial mampu mengolah data perilaku untuk menghasilkan prediksi pola konsumsi, keputusan, dan interaksi sosial pengguna internet. Surplus perilaku inilah sebenarnya instrumen utama bisnis media digital, sebagai objek monetisasi atau komodifikasi aktivitas periklanan digital. Dapat dibayangkan, betapa besar potensi ekonomi data prediksi pola konsumsi dan interaksi sosial pengguna internet di seluruh dunia. Perlu digarisbawahi, surplus perilaku ini secara oligopolis tersentralisasi pada segelintir korporasi global seperti Google dan Facebook! Selanjutnya, yang kita hadapi ialah mode periklanan yang jauh lebih canggih dan eksesif. Jika iklan konvensional muncul di ruang media yang bersifat terbuka dan publik, iklan digital merangsek masuk ke ruang-ruang pribadi. Tiba-tiba saja iklan digital muncul saat kita menghidupkan telepon pintar, mengakses e-mail pribadi, membuka aplikasi Whatsapp, dan seterusnya. Yang terjadi di sini, menurut Dan Schiller (2015), bukan hanya akun media sosial kita menjadi sasaran periklanan, bukan pula kita dipermudah dalam mencari barang dan jasa melalui kata-kunci pada mesin pencari. Jauh lebih revolusioner dari itu, media sosial dan mesin pencari memberi kesempatan kepada pengiklan untuk secara langsung dan realtime memasuki arus kegiatan sehari-hari dan realitas hidup personal kita. Pada titik ini ada beberapa hal yang perlu ditegaskan. Pertama, semua media sosial tidak pernah sepenuhnya bersifat sosial. Facebook, Twitter, Youtube, dan Google+ selalu merupakan dualitas antara institusi sosial yang memberikan berbagai kemudahan informasi kepada kita dan institusi bisnis yang secara instrumentalistis menempatkan kita sebagai objek komodifikasi. Secara kategoris tidak ada beda antara media sosial dan media massa. Keduanya sama-sama entitas bisnis yang harus senantiasa disikapi dengan kritis dari perspektif perlindungan kepentingan publik.
Kata sosial dalam istilah media sosial telah menghegemoni pikiran masyarakat. Kita sering tidak sadar bahwa yang kita hadapi sesungguhnya ialah entitas bisnis yang bekerja dengan logika akumulasi modal dan maksimalisasi konsumsi. Media sosial--juga mesin pencari--memberikan banyak hal dalam hidup kita, tetapi sesungguhnya juga mengambil banyak. Apa yang kita dapatkan dari mereka tidak sepenuhnya gratis karena imbal baliknya hidup kita seperti menjadi periklanan yang massif dan eksesif. Kedua, muncul peringatan dari pakar komunikasi seperti Vincent Mosco, Dan Schiller, Bill Kovach, atau Shoshana Zuboff tentang komplikasi pada aras perlindungan privasi dan kedaulatan pribadi. Secara hiperbolis, Shosana Zuboff (2016) pernah menyatakan, dalam urusan mengontrol dan mengarahkan perilaku masyarakat, peran negara kini telah diambil alih Google dan lain-lain. Kemampuan Google dan Facebook dalam memata-matai hidup sehari-hari setiap orang tidak ada bandingannya, bahkan membikin cemburu agen-agen intelijen negara besar di dunia. Maka di Eropa dan Amerika Utara, dalam beberapa tahun terakhir sedang marak diperjuangkan apa yang disebut 'the right to be forgotten'. Hak para pengguna internet untuk menghapuskan jejak-jejak aktivitas digital mereka. Hak untuk terbebas dari pengawasan dan pencatatan media sosial dan mesin pencari. Di sini kita berbicara tentang kedaulatan pengguna internet atas diri sendiri. Ketika media baru telah memasuki ruang personal kita secara langsung dan realtime, sejauh mana kita masih berdaulat atas diri sendiri? Ketika peran media sosial dan mesin pencari tidak sekadar bersifat informatif, tetapi juga bersifat direktif-instruktif, apakah kita masih memiliki otonomi untuk menentukan diri secara sosial, ekonomi, dan politik?
Pada titik ini, muncul kesadaran di kalangan generasi muda dan terdidik di Barat untuk mulai berjarak dengan semua bentuk media baru. Ketika kesadaran ini semakin menguat di Eropa dan Amerika, bangsa Indonesia masih pada fase mengagumi dan menggandrungi media baru dan kurang memperhatikan benar konsekuensi yang ditimbulkannya. Ketiga, perkembangan media baru pada akhirnya menampakkan diri sebagai sebuah aporia. Dia menawarkan kebebasan tetapi secara laten menghadirkan kontrol. Dia memberi kemungkinan-kemungkinan deliberasi sekaligus menunjukkan tendensi instrumentalisasi dan komodifikasi. Aporia inilah yang semestinya menjadi titik tolak bagi semua pihak, termasuk negara, untuk bersikap. Terintegrasi dalam lanskap baru informasi global ialah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Namun, masyarakat harus diingatkan dan dilindungi dari dampak yang merugikan. Bukan dengan melahirkan kebijakan yang represif dan antidemokrasi, tetapi dengan memberikan sabuk pengaman seperti pendidikan media digital sejak usia dini, perlindungan data pribadi, perumusan etika periklanan digital, proteksi atau stimulus untuk pengembangan ecommerce lokal, skema pajak untuk media sosial dan mesin pencari. Selain mengalkulasi proyeksi keuntungan integrasi Indonesia dalam lanskap komunikasi-informasi digital global, kita juga harus secara saksama menimbang benar konsekuensi-konsekuensi dari beroperasinya struktur kapitalisme baru yang jauh lebih hegemonis, oligopolis, dan ekspansionis dari sebelumnya. Integrasi Indonesia ke dalam lanskap tersebut bukan hanya perlu dibahas dari perspektif pengembangan ekonomi kreatif, melainkan juga sangat menantang untuk dibicarakan dari perspektif demokrasi, HAM, perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved