Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
PRESIDEN Filipina Rodrigo Duterte ke Jakarta setelah terlibat adu kata-kata dengan Presiden AS Barack Obama pada KTT ASEAN di Laos. Duterte yang sedang melancarkan perang brutal melawan penjahat narkoba tidak mau dikuliahi soal HAM oleh AS yang tentaranya telah membunuh 600 bangsa Moro pada 7 Maret 1906 di Kepulauan Sulu. “Siapa itu Obama? Diancuk!” serapah Duterte yang menyebabkan Obama enggan mengadakan pertemuan resmi bilateral dengan mantan Wali Kota Davao yang gayanya mirip jagoan. Banyak media salah atau sengaja menerjemahkan umpatan Duterte kepada Obama itu sebagai 'anak pelacur' (son of a whore), padahal menurut Duterte yang dia katakan adalah 'putangina', bahasa Tagalok untuk 'son of a bitch' atau 'diancuk' dalam bahasa Jawa Timuran. Barangkali untuk mendinginkan suasana, di Jakarta Jokowi mengajak sang jagoan blusukan ke Pasar Tanah Abang. Selain itu, kedua pemimpin membahas cara terbaik untuk menghentikan peredaran narkoba. Jokowi dan Duterte mengklaim negara mereka dalam kondisi darurat perang melawan narkoba. Namun, cara pendekatan yang dipilih kedua pemimpin untuk mengatasi isu tersebut berbeda. Jokowi menghidupkan kembali hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba, sedangkan Duterte lebih keras lagi dengan memerangi sampai habis bandar-bandar sehingga terjadi aksi pembunuhan tanpa melalui peradilan di Filipina. Apa yang dilakukan Duterte sekarang mengingatkan pada kasus penembakan misterius (petrus) pada zaman HM Soeharto di Indonesia.
Retorika keras antinarkoba mantan Wali Kota Davao itu telah menyulut pembantaian massal terhadap bandar, pengedar, dan pengguna obat terlarang. Rata-rata 44 orang dibunuh setiap hari di Filipina dalam perang melawan narkoba. Data yang disiarkan aparat kepolisian di Manila, 6 September 2016, menyebutkan jumlah korban tewas 3.000 orang sejak Presiden Rodrigo Duterte dilantik pada 30 Juni lalu. Perang brutal Duterte itu membuatnya makin populer di negerinya. Sebanyak 91% masyarakat Filipina mendukung langkah presiden yang tegas dan sangat berani itu. Pengagum dan penyokong kebijakan Duterte ternyata banyak juga di Indonesia. Mereka memuji langkah keras Duterte dan ingin Indonesia mengikuti jejak negeri jiran itu dalam memberantas narkoba. Masalahnya, apakah gaya Duterte itu perlu ditiru Indonesia? Apa akibatnya kalau Jokowi menerapkan kebijakan itu? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan itu.
Pernah dilakukan Thailand
Menurut kajian East Asia Forum, aksi keras memberantas narkoba gaya Duterte sebelumnya pernah dilakukan Thailand sekitar 12 tahun lalu. Mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra memimpin perang Thailand terhadap narkoba pada 2003. Retorika keras Thaksin seperti 'shoot to kill' dan 'eye for an eye' telah melegitimasi pembunuhan extrajudicial. Dalam tiga bulan, polisi telah membunuh 2.275 orang tanpa pengadilan dan 320 ribu orang menyerahkan diri ke polisi. Banyak laporan mengenai pelanggaran hak asasi mulai pelecehan, kekerasan seksual, sampai kepada penyiksaan. Namun, jajak pendapat menunjukkan dukungan luas, lebih dari 90%, kepada perang antinarkoba Thaksin. Di Filipina, Duterte mengikuti jejak retorika Thaksin, bahkan lebih keras lagi. Duterte mengajak warga untuk angkat senjata dan ikut serta dalam pemusnahan bandar narkoba yang didukung negara. Media Filipina memberitakan, dalam dua bulan Duterte berkuasa, lebih dari 2.000 orang tewas terbunuh dan 700 ribu orang menyerahkan diri kepada polisi. Duterte dengan lantang mengatakan tidak akan menghentikan kampanye pembunuhan bandar narkoba meski sudah ditentang berbagai pihak terutama PBB. Malah Duterte mengatakan masih banyak bandar yang akan tewas di negaranya. "Masih banyak yang akan dibunuh sampai bandar terakhir keluar dari tempat persembunyiannya. Sampai pembuat narkoba terakhir mati, kami akan terus melakukannya," ujar Duterte sebelum berangkat ke Laos dalam rangka menghadiri KTT ASEAN.
Penjara-penjara di seantero negeri mendadak penuh sesak, padahal sejak 2012 sel-sel tahanan sudah dipenuhi tiga kali lipat kapasitasnya. Penjara yang penuh sesak, apalagi oleh bandar, pengedar, dan pecandu narkoba, bisa menjadi tempat menyebarnya penyakit HIV dan Tb. Belum lagi, bagaimana caranya merehabilitasi 700 ribu pecandu yang kini berada di dalam sel-sel tahanan, sedangkan pusat rehabilitasi sangat terbatas. Meskipun demikian, jajak pendapat sekarang menunjukkan 91% masyarakat Filipina mendukung Duterte. Ada sejumlah kasus di saat korban sama sekali tak bersalah dan tak terlibat dengan kejahatan narkoba. Koran Philippine Daily Inquirer membuat halaman khusus yang diberi tajuk 'Kill List' yang mendokumentasikan rata-rata 10-44 korban tewas setiap harinya. Yang kebanyakan masuk daftar korban terbunuh, menurut catatan koran itu, ialah warga miskin yang berasal dari permukiman kumuh. Untuk membantah kritikan bahwa sasaran perang melawan narkoba ialah warga miskin, pemerintahan Duterte mengeluarkan daftar 150 polisi dan pejabat militer, politisi, dan hakim yang terduga terlibat dalam perdagangan obat terlarang. Namun, menyasar target politisi dan pejabat tinggi membawa risiko bahwa lawan-lawan politik bersatu untuk menyerang Duterte seperti kasus Thaksin di Thailand.
Elite melawan
Aksi pemberantasan kejahatan narkoba di Thailand menunjukkan hampir separuh dari 3.000 orang yang tewas dalam aksi extrajudicial killing sama sekali tidak terlibat dalam perdagangan narkoba. Sebagian menjadi korban dari polisi yang korup atau korban aksi main hakim sendiri. Meskipun kampanye antinarkoba Thaksin bisa mendongkrak popularitasnya dalam waktu singkat, elite kekuasaan kemudian melawannya sehingga Thaksin bisa digulingkan pada 2006. Pemerintah Thailand yang berkuasa sekarang memperlakukan kecanduan obat terlarang sebagai masalah kesehatan. Hal yang dilakukan Duterte dan Thaksin menjadi pelajaran berharga bagi Presiden Jokowi dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso. Perang melawan narkoba di Filipina dan di Thailand merupakan bentuk pembunuhan di luar proses hukum sama seperti penembakan misterius di era HM Soeharto. Pemerintah, apalagi yang terpilih secara demokratis, tidak mungkin menyetujui atau malah memerintahkan pembunuhan terhadap warga negaranya tanpa melalui pengadilan kendati atas nama pemberantasan narkoba.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved