Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan Energi

Sampe L Purba Alumnus Program Pendidikan Reguler Lemhannas RI Praktisi energi global
08/9/2016 00:30
Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan Energi
(ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

KOSAKATA ketahanan energi, kemandirian energi, dan kedaulatan energi ialah tiga pengertian yang berbeda baik dalam substansi maupun objektif dalam perumusan dan implementasi konsepsi kebijakan untuk mewujudkannya, tetapi sering dicampuradukkan. Ketahanan energi ialah ketersediaan (availability) dengan indikator sumber pasokan, kemampuan untuk membeli (affordability) yakni daya beli yang dikorelasikan dengan pendapatan nasional per kapita, dan adanya akses (accessibility) bagi pengguna energi untuk menggerakkan kehidupan dan roda ekonomi, serta bertahan untuk jangka panjang (sustainability). Kemandirian energi ialah kemampuan negara dan bangsa untuk memanfaatkan keanekaragaman energi dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Kedaulatan energi ialah hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi.

Suatu negara boleh miskin sumber daya alam atau sumber daya energi, tetapi memiliki cadangan penyangga energi yang memadai, dapat dibeli masyarakat pada harga yang tidak harus murah, serta mampu menunjang permintaan masyarakat dan industri untuk menggerakkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Kemampuan membeli karena subsidi yang masif ialah ibarat doping massal ketahanan energi yang semu, ilutif, dan meracuni. Energy Information Administration (EIA) mengeluarkan secara berkala indeks ketahanan energi (energy security index) yang mengorelasikan antara konsumsi energi per kapita dengan produk domestik bruto per kapita. Singapura atau Hong Kong, misalnya, ialah contoh negara yang memiliki indeks ketahanan energi yang baik dikaitkan dengan stabilitas dan diversifikasi pasokan serta kemampuan daya beli. Sebaliknya, Bangladesh tidak terlalu bergantung kepada energi konvensional karena hampir 50% kebutuhan energi rumah tangga dipenuhi dari kayu bakar, rerumputan, dan kotoran binatang (animal waste). Kemandirian energi erat dengan diversifikasi sisi suplai.

Kebijakan dan kebutuhan energi
Dalam blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 sebagai penjabaran dari Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional ditargetkan, akan ada penyeimbangan komposisi energi primer, di saat energi baru terbarukan meningkat dari 6,20% menjadi 17% yang terdiri atas bahan bakar nabati 7%, panas bumi 5%, surya dan angin 5%, dan batu bara cair 2%. Sementara itu, sumber daya alam fosil (minyak bumi, gas bumi, dan batu bara), sekalipun masih dominan (83%), telah bergeser dari era minyak dengan target komposisi menjadi gas bumi 30%, minyak bumi 20%, dan batu bara 33%.

Menurut studi Indonesia Energi Outloook (2010) periode 2010-2030, permintaan energi secara keseluruhan diperkirakan tumbuh rata-rata 5,6% per tahun. Dengan pertumbuhan tersebut, pada 2030 pangsa permintaan energi akan didominasi sektor industri (49%), diikuti transportasi (29%), rumah tangga (15%), komersial (4%), serta pertanian, konstruksi, dan pertambangan (3%). Untuk memenuhi kebutuhan energi, studi tersebut menyatakan perlunya investasi yang besar. Hasil penghitungan yang berkaitan dengan perkiraan kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur energi meliputi investasi pembangkit listrik rata-rata US$10 miliar per tahun, biaya untuk penambahan kapasitas kilang minyak mencapai sekitar US$16 miliar, investasi kilang bahan baku batu bara cair mencapai US$33 miliar, investasi kilang bahan bakar nabati sekitar Rp11,2 triliun, serta investasi pembangunan receiving terminal LNG 6 BCFD sebesar US$8 miliar.
Kementerian ESDM memprediksi energi yang dibutuhkan sebesar 406,15 MTOE pada 2025. Dihadapkan pada investasi yang besar, teknologi yang tinggi, dan sumber daya manusia dan finansial terbatas, serta kemampuan menempuh risiko bisnis dengan gradasi berbeda pada berbagai elemen pelaku ekonomi nasional, maka strategi pengelolaan sumber daya alam yang bijak ialah yang lebih memfokuskan kedaulatan energi. Kedaulatan energi yang sejati lebih menekankan kemandirian dan fleksibilitas dalam merumuskan suatu kebijakan. Pelaksana implementasi kebijakan terbuka untuk pelaku asing, domestik, badan usaha perorangan atau konglomerasi, maupun BUMN termasuk dalam semangat private public partnership.

Implementasi
Rentang implementasi kebijakan dapat beragam seperti kombinasi pewajiban perusahaan yang mendapatkan lisensi mengeksploitasi sumber daya alam, mengalokasikan dan menginvestasikan kembali sebagian modal dan keuntungannya pada industri pengolahan bahan baku yang menaikkan nilai tambah bahan galian alam, membatasi ekspor bahan mentah atau kebebasan dalam memberi atau mencabut insentif fiskal. Kemampuan perunding pemerintah Indonesia untuk mengondisikan agar Proyek Asahan memasok listrik menutupi defisit di Sumatra Utara menjadi tes uji wujud nyata kedaulatan energi. Terlebih hal itu dalam rangka mendukung program otoritas kecukupan listrik untuk destinasi wisata Danau Toba misalnya, atau joint operatorship pada beberapa wilayah pertambangan migas yang akan berakhir konsesinya maupun konsistensi penerapan pelarangan bahan mentah galian tambang tertentu.

Apakah kita akan menuju ketahanan, kemandirian, atau kedaulatan energi? Itu adalah sebuah pilihan. Pilihan berarti prioritas. Memprioritaskan juga bermakna mengedepankan satu hal dan mengesampingkan atau menomorsekiankan hal yang lain. Untuk efektivitas pencapaian tujuan, mengingat sumber daya yang terbatas, bangsa ini harus deterministik, firm, dan berpendirian. Sumber daya alam yang dikelola menjadi energi ialah kekayaan kolektif bangsa. Sebagai kekayaan kolektif, pemanfaatannya juga tidak boleh bersifat sektoral, regional, atau tersegmentasi. Masalah energi ialah masalah kedaulatan bangsa. Kedaulatan--yang memiliki rentang horizon luas dan panjang bahkan abadi--melebihi siklus dan periodisasi politik. Selain itu, kebijakan pengelolaan energi harus memiliki dimensi yang terintergrasi dengan tujuan bernegara, yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Itu tidak instan, tetapi memerlukan konsistensi, ketangguhan, sekaligus keluwesan untuk Indonesia yang lebih baik.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik