Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

Sesat Pikir Remisi Koruptor

Achmad Fauzi Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
08/9/2016 00:15
Sesat Pikir Remisi Koruptor
(Ilustrasi)

KINERJA pemberantasan korupsi menghadapi batu sandungan. Pelaku kejahatan korupsi yang notabene dikualifikasikan kejahatan luar biasa diwacanakan memperoleh remisi. Pertimbangannya sepele dan tidak logis, yaitu lembaga pemasyarakatan (LP) kepenuhan. Padahal jika dikalkulasi jumlah narapidana (napi) kasus korupsi berkisar 3% dari total napi di seluruh Indonesia. Sehingga menjadikan alasan LP over capacity hanyalah alasan yang dicari-cari. Wacana obral remisi koruptor tersebut digulirkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Rencana remisi koruptor jelas melukai keadilan dan ambivalen dengan agenda pemberantasan korupsi yang menjadi bagian dari Nawa Cita. Di saat KPK militansinya meningkat dan hakim garang menghukum berat pelaku kejahatan kerah putih, Menteri Yasonna justru hendak memberikan diskon hukuman kepada para koruptor. Sayangnya, mazhab yang ia pilih kontraproduktif dengan cita-cita reformasi. Alih-alih memperoleh dukungan, wacana tersebut justru menuai hujatan dari masyarakat yang notabene dirugikan praktik korupsi. Karena itu, presiden hendaknya memiliki sikap tegas atas persoalan ini sebelum kepercayaan masyarakat terdegradasi. Kebijakan pembantu presiden yang keluar dari garis Nawa Cita harus ditegur agar tidak menjadi bola liar yang mengacaukan paradigma efek jera.

Bukan baru sekarang
Wacana obral remisi koruptor sejatinya bukan kali pertama terjadi. Tahun lalu Menteri Yasonna juga pernah menggulirkan isu serupa. Menurutnya koruptor juga manusia yang punya kesempatan untuk insyaf dengan segala hak yang sama seperti napi lainnya. Padahal, jika dicermati, kasus tindak pidana biasa yang dirugikan hanya individu. Adapun, dampak kerugian dari korupsi berskala sangat luas, yaitu masyarakat. Di negara mana pun perlakuan terhadap koruptor tak mengenal rasa ampun. Di Korea Selatan, misalnya, pada pemerintahan Lee Myung-bak, korupsi benar-benar ditekan. Tak peduli keluarganya sendiri yang terlibat, ia tetap menghukum berat para koruptor. Kepemimpinan seperti ini mestinya dicontoh agar tidak ada kelonggaran bagi siapa pun yang mengeruk keuangan negara untuk kepentingan pribadi.
Kebijakan Menkum dan HAM yang cenderung memaafkan koruptor jelas kurang memiliki sensitivitas terhadap persoalan korupsi. Koruptor yang seharusnya tidak diberi ampun justru diberikan ruang untuk bisa keluar dari hukuman badan. Ada tendensi politis dari rencana pemberian remisi tersebut mengingat para koruptor yang menghuni penjara terdiri dari aktor politik dan mantan pejabat pemerintahan. Direktur Setara Institute Hendardi mengkritik konstruksi hukum yang dibangun Menkum dan HAM karena mengandung sesat pikir dan bias politik. Di satu sisi sang menteri bersemangat memberikan remisi kepada napi korupsi dengan dalih HAM. Tapi, pada saat bersamaan kontroversi hukuman mati miskin dari argumentasi HAM.

PP Nomor 99 Tahun 2012 sudah mengatur secara ketat pemberian remisi pelaku tindak pidana korupsi. Salah satu syaratnya ialah kooperatif bekerja sama dengan penegak hukum dalam membantu membongkar kejahatan pidana yang dilakukannya, atau dikenal dengan istilah justice collaborator. Syarat tersebut merupakan pengejawantahan dari Pasal 37 ayat (2) Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption) 2003 yang intinya setiap negara peserta wajib menimbang dalam kasus-kasus tertentu untuk mendiskon hukuman apabila pelaku punya iktikad baik untuk bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan.

Namun, celakanya, syarat tersebut justru malah diwacanakan akan dihapus. Ada apa gerangan, Pak Menteri? Mengapa begitu sayang terhadap penjahat yang sudah mengeruk kekayaan negara? Bukankah seharusnya kekayaan tersebut untuk kemakmuran seluruh rakyat yang hingga kini masih di bawah garis kemiskinan? Masih adakah nurani untuk menimbang ulang kebijakan sensitif itu? Menghapus syarat justice collaborator dalam aturan remisi akan memutus mata rantai kejahatan korupsi. Sehingga, orang-orang yang terlibat korupsi secara berjemaat bakal bebas dari jerat hukum. Inilah agenda terselubung yang harus diwaspadai bersama. Kini arus penolakan pemberian remisi koruptor semakin menguat. Para pegiat antikorupsi mengecam dan dipastikan bakal mengajukan judicial review ke MA jika pengetatan pemberian remisi diotak-atik. Pemerintah harusnya lebih berhati-hati karena hal ini menyangkut nurani masyarakat luas yang notabene terjajah korupsi. Jika koruptor diampuni rasa keadilan publik pasti akan terlukai dan dalam jangka panjang pemerintah akan kehilangan legitimasi. Karena itu, pemerintah perlu berpikir ulang manfaat dan mudarat memberikan remisi terlalu longgar kepada koruptor, dengan melihat potensi kejahatan korupsi yang hampir merata di beberapa daerah.

Rapuh tindakan
Hasil survei persepsi korupsi pada 2015 sangat memprihatinkan. TII melakukan survei di sebelas kota di Indonesia. Sebelas kota tersebut adalah Pekanbaru, Semarang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, Medan, Padang, Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Hasil dari survei tersebut menyebutkan bahwa kota yang memiliki skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2015 ialah Banjarmasin dengan skor 68, Surabaya 65, dan Semarang 60. Sementara itu, kota yang memiliki skor Indeks Persepsi Korupsi terendah ialah Bandung dengan skor 39, Pekanbaru 42, dan Makassar 48 (www.ti.or.id). Namun, meski kondisi negeri ini sudah sekarat akibat korupsi, keberpihakan elite hanya riuh di ucapan, rapuh di tindakan. Di latar depan dengan pencahayaan terang, mereka teriak berikrar dan menandatangani pakta integritas. Tapi, di belakang panggung politik yang gulita, mereka melakukan transaksi lancung menggadaikan wibawa kekuasaan untuk memperkaya diri. Kilas balik atas beberapa tokoh penting yang pernah menjadi ikon antikorupsi justru mengotori nama baiknya dengan korupsi. Slogan 'katakan tidak pada korupsi' tak lebih hanya pepesan kosong yang merambat di ruang hampa. Karena itu, Kementerian Hukum dan HAM harus berada di dalam irama yang sama dalam ritme pemberantasan korupsi. Orkestra vonis berat terhadap koruptor jangan dimentahkan begitu saja melalui suara sumbang bernama remisi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya