Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

Korupsi dan Sikap Mental Serakah

Dominikus Dalu S Senior Asisten Ombudsman pada Ombudsman RI
07/9/2016 00:30
Korupsi dan Sikap Mental Serakah
(Ilustrasi Tiyok)

KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Banyuasin dan beberapa orang yang bersamanya pada Minggu (4/9) terkait dengan perizinan proyek di wilayah yang dipimpinnya. Publik sekali lagi dipertontonkan pemandangan menyedihkan ketika kepala daerah tertangkap tangan karena dugaan terlibat korupsi. Alih-alih menjadi contoh pemberantasan korupsi dan memajukan daerahnya, bupati itu malah menjadi pelaku korupsi, mencederai janjinya ketika kampanye kepada konstituen yang memilihnya. Ketika digelandang di kantor KPK, ia menyampaikan permintaan maaf dan mengaku salah serta khilaf. OTT oleh KPK ini menambah jumlah kepala daerah yang terlibat korupsi selama 2010-2016 menjadi sekitar 361 orang. Sebelumnya Gubernur Sultra telah ditetapkan leh KPK menjadi tersangka pada akhir Agustus 2016. Para kepala daerah yang terlibat persoalan hukum khususnya kasus korupsi itu kasusnya telah dan sedang dalam proses penyidikan jajaran kejaksaan, Polri, dan KPK, ataupun yang sudah memperoleh putusan pengadilan dan telah menjadi narapidana. Beberapa modus operandi korupsi oleh kepala daerah itu antara lain penyalahgunaan anggaran, penggelapan, dan pemerasan dalam jabatan.

Mengapa korupsi oleh kepala daerah terus terjadi dan hukuman seolah tidak memberikan efek jera? Selain ongkos politik untuk menjadi kepala daerah yang begitu mahal sehingga ketika menjabat harus mencari cara mengembalikan biaya politik dimaksud, konon kalau menjadi bupati/wali kota apalagi menjadi gubernur, uang puluhan miliar hingga ratusan miliar harus disediakan untuk biaya pencalonan. Belum lagi kebutuhan untuk secara rutin membiayai konstituen atau loyalis/tim suksesnya, termasuk partai pengusung yang sudah diperjanjikan sebelum menang sebagai kepala daerah dalam pemilu. Semua beban biaya itu sangat mungkin tidak dari uang pribadi, dan dari mana uangnya kalau bukan dari praktik korupsi.

Menyalahgunakan jabatan
Idealnya setiap pejabat, ketika akan memangku jabatannya, sudah memahami benar mandat yang diberikan kepadanya. Sayangnya sumpah jabatan yang dilakukan sebelum memangku jabatan hanya sebagai upacara seremonial belaka. Sumpah jabatan tidak diresapi sebagai suatu ikrar kepada publik dan kepada Sang Penciptanya bahwa akan menjalankan amanah secara bertanggung jawab. Pejabat yang mengingkari sumpah jabatan ialah pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya baik untuk tujuan pribadi maupun kelompoknya. Paling tidak dikenal ada tiga praktik penyalahgunaan wewenang dalam birokrasi pemerintahan yang seharusnya dihindari. Pertama, mercenary abuse of power, yakni terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait bekerja sama dengan pihak lain. Biasanya dengan rekanan pemerintah atau kroninya dengan cara suap, sogok-menyogok, atau praktik mark up. Kedua, discretionary abuse of power, bahwa untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan yang tidak ada atau tidak mengatur secara khusus agar administrasi pemerintahan dan pelayanan publik dapat berjalan, maka dalam hal tertentu pejabat terkait diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan atau diskresi. Sayangnya, hal itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, kroni, atau dikenal dengan kolusi dan nepotisme. Ketiga, ideological abuse of power. Penyalahgunaan jabatan tipe ini disebabkan pejabat bersangkutan memiliki keinginan dan kepentingan memperjuangkan kelompok atau golongan atau partai pendukungnya (bagi partisan politik) karena balas jasa atau budi. Korupsi jenis ini sangat berbahaya karena melibatkan elemen politik dan saling melindungi.

Dalam praktiknya, korupsi yang terjadi di Indonesia baik oleh pihak eksekutif, legislatif, maupun yudikatif merupakan gabungan dari tiga bentuk penyalahgunaan wewenang itu. Adapun untuk melanggengkan praktik korupsi pejabat birokrasi pemerintahan saat ini (baca kepala daerah) susah dicarikan argumen pembenaran bahwa mereka korupsi untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti sandang dan pangan, sebagaimana teori korupsi berdasarkan kebutuhan oleh Maslow. Karena itu, yang relevan dari Maslow dalam melihat fenomena korupsi di Tanah Air ini, jika seseorang menganggap bahwa kebutuhan yang paling tinggi dalam kehidupannya ialah kebutuhan mendasarnya, apa pun akan dia lakukan untuk mencapainya. Termasuk melakukan dengan cara melanggar hukum seperti tindak pidana korupsi. Untuk menyempurnakan praktik korupsi maka benar adanya pemikiran Jack Bologne yang dikenal dengan teori GONE, yaitu greed, opportunity, needs, dan exposure. Greed terkait dengan ketamakan dan kerakusan para pelaku korupsi; opportunity, berupa sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi; needs terkait dengan sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, dan exposure berupa hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera. Maka untuk menangkal korupsi di negara ini, seharusnya para pemimpin di mana pun dan pada level apa pun harus memberikan teladan untuk hidup sederhana, tidak tamak, dan hendaknya hukuman yang diberikan setimpal dengan perbuatannya. Soal hukuman selalu menjadi perdebatan serta diskusi yang panjang mengenai hukuman seperti apa yang cocok diterapkan bagi para koruptor.UU Korupsi sudah memberikan ruang adanya hukuman mati, tetapi dalam praktiknya belum pernah vonis pengadilan menghukum mati terdakwa kasus korupsi. Kiranya yang dianggap paling tepat saat ini dan sering diwacanakan ialah pendapat mengenai bagaimana hukum dapat diterapkan dengan memiskinkan koruptor. Semoga pendapat seperti ini tidak hanya wacana, tapi juga sudah saatnya direalisasikan agar harta koruptor dirampas untuk negara dan koruptor menjadi miskin. Sudah bukan rahasia saat ini bahwa ketika dipenjara dan keluar penjara, para koruptor tetap hidup mewah dari harta haramnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya