Headline
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
Itulah penggalan kalimat almarhum Munir yang sering kita dengar dan baca di berbagai media. Penggalan kalimat Munir itu memang tidak hanya sebatas kata, tetapi juga terwujud dalam tindakan almarhum yang semasa hidupnya tidak kenal rasa lelah dan takut untuk memperjuangkan penegakan HAM di Indonesia. Meski sudah 12 tahun pascawafatnya Munir, penggalan kata tersebut tetap hidup sebagai semangat bagi para pembela HAM yang masih terus memperjuangkan penegakan HAM. Mungkin mereka dapat membunuh Munir, tetapi sepertinya mereka lupa bahwa tidak dapat membunuh semangat Munir yang terus hidup dalam setiap hati para pembela HAM. Komitmen Munir untuk pemajuan HAM yang berujung pada kematiannya tentu akan selalu dikenang keluarga korban dan para pegiat HAM serta demokrasi di Indonesia. Sejarah kita pun tentu tidak bisa bersembunyi dari peran dan kiprah seorang aktivis HAM bernama Munir, yang sepanjang hidupnya mengambil langkah-langkah sepi dan sunyi untuk memperjuangkan suara-suara korban pelanggaran HAM.
Jejak langkah Munir
Sebagai sosok pembela HAM yang lantang menyuarakan kebenaran, Munir merintis jiwa aktivisnya sejak mahasiswa ketika bergabung menjadi anggota HMI Komisariat FH Unibraw Malang. Pascamahasiswa, Munir bergabung dengan LBH Surabaya Pos Malang di bawah naungan YLBHI. Di LBH inilah Munir sangat intensif memanifestasikan visi kerakyatan dalam bentuk tindakan advokasi hukum maupun pengorganisasian masyarakat. Pergulatan Munir dengan dinamika kerakyatan terlihat dari keterlibatannya dalam berbagai advokasi kasus sengketa agraria, advokasi hukum kasus-kasus perburuhan, seperti kasus Marsinah, advokasi pelanggaran HAM di daerah-daerah konflik seperti Timor Leste (dulu Timor-Timur), Aceh, Papua, Ambon, hingga Poso. Sebagai pembela HAM, sosok Munir menjadi sangat dikenal publik ketika almarhum menjabat sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang pada era 1997/1998 gencar sekali mengadvokasi kasus penghilangan orang secara paksa. Kiprah dan jejak langkah Munir dalam membongkar kasus penghilangan orang secara paksa tentulah tidak mudah, mengingat pelaku penculikan pada saat itu, oknum aparat negara yang bisa jadi segala tindakannya atas sepengetahuan penguasa pada saat itu. Apalagi, di tengah rezim yang otoriter ala Orba, upaya membongkar tindakan kotor kekuasaan berupa penculikan sangatlah penuh risiko. Langkah Munir menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan HAM diwarnai berbagai macam tindakan intimidasi dan teror terhadap dirinya. Beberapa kali Munir mengalami intimidasi dan teror seperti penyerangan kantor Kontras yang mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap Munir dan staf Kontras lainnya, hingga ancaman bom di rumah Munir. Namun demikian, segala bentuk intimidasi dan teror itu tidak menghentikan dan menyurutkan langkah Munir dalam memperjuangkan HAM. Pasca menjadi koordinator Kontras, almarhum Munir membentuk Imparsial, sebuah lembaga pemantau HAM yang didirikan bersama beberapa aktivis HAM, seperti Todung Mulya Lubis, Hendardi, Rachland Nashidik, MM Billah, Nursyahbani Katjasungkana, dan beberapa nama lainnya. Sayangnya, senyum dan tawa sang pejuang HAM itu tak terlihat lagi sejak 7 September 2004. Melalui pembunuhan yang sangat kejam, tangan-tangan kotor itu secara terencana meracuni Munir dengan racun arsenik. Perjalanan almarhum untuk menempuh pendidikan S-2 di Belanda dipotong di tengah jalan dengan cara dibunuh mereka yang sudah pasti tidak memiliki rasa dan jiwa kemanusiaan.
Ancaman pembela HAM
Sungguh ironis, di tengah proses reformasi dan demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia, pembunuhan dengan racun terjadi kepada aktivis HAM. Cara-cara kotor membungkam para pembela HAM nampaknya tidak berhenti di masa Orba, tetapi terus berlanjut hingga kini. Belum selesai pengusutan kasus pembunuhan Munir, kekerasan terhadap pembela HAM kembali terjadi kepada Salim Kancil, aktivis lingkungan hidup di Lumajang yang dibunuh dengan kejam pada 26 September 2015. Nampaknya, meski sistem politiknya sudah demokrasi, tetapi aktivitas para pembela HAM tetap dibayangi dengan berbagai risiko dan ancaman.Beberapa bentuk kekerasan yang dialami pembela HAM di masa reformasi ini, antara lain berupa penangkapan secara sewenang-wenang, penyiksaan, intimidasi atau ancaman kekerasan, penganiayaan fisik, dan bahkan pembunuhan. Selain itu, pembela HAM juga sering kali mengalami kriminalisasi guna membungkam aktivitas yang mereka lakukan. Kriminalisasi terjadi dengan cara menjerat pembela HAM dengan ketentuan pidana pasal-pasal karet yang terdapat dalam KUHP. Pasal-pasal yang sering digunakan untuk menjerat para pembela HAM ialah pasal 310, 311, dan 315 tentang tindak pidana pencemaran nama baik. Lalu, pasal 160 tentang tindak pidana penghasutan, serta pasal 156a tentang penodaan agama sebagaimana di atur dalam KUHP. Di luar KUHP, aturan yang sering digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap pembela HAM ialah dengan menggunakan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kekerasan terhadap pembela HAM tidak hanya ditujukan pada badan atau tubuh, tetapi juga kepada barang properti yang dimiliki. Kekerasan berupa perusakan, perampasan, dan pembakaran paling banyak dialami oleh wartawan yang sedang meliput atau melakukan investigasi kasus-kasus tertentu terkait dengan jaminan perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan HAM. Kekerasan terhadap pembela HAM di dunia jurnalistik baru-baru ini dialami Andri Syafrin Purba dan Array Argus di Medan yang dilakukan oknum anggota TNI.
Perlindungan pembela HAM
Pembela HAM berada di garis depan untuk menyuarakan jeritan korban. Pembela HAM memperjuangkan agar HAM sebagai prinsip dasar bernegara dapat dilindungi, dihormati, dan dimajukan. Dalam posisi demikian, pembela HAM sesungguhnya memiliki peran besar terpenuhinya tanggung jawab negara dalam melindungi dan memajukan HAM. Sudah saatnya negara menjadikan suara-suara kritis para pembela HAM bukan lagi sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan demokrasi yang perlu terus hidup guna memajukan penegakan HAM dan demokrasi itu sendiri. Komitmen pemerintah dalam menjamin perlindungan pembela HAM, salah satunya dapat dilakukan dengan cara merevisi bahkan menghapus pasal-pasal karet di dalam revisi KUHP yang saat ini sedang dilakukan DPR, dan juga merevisi pasal karet di dalam UU ITE serta aturan lainnya yang sering kali digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis. Selain itu, upaya menjamin perlindungan pembela HAM juga dapat dilakukan dengan cara memperkuat jaminan perlindungan dan mekanisme proteksi para pembela HAM melalui revisi UU tentang HAM No 39/1999. Lebih dari itu, semoga kekuasaan terus membuka mata dan telinganya sehingga semua kekerasan yang dialami para Pembela HAM di usut hingga tuntas sampai para pelakunya ditemukan, di adili, dan dihukum dengan adil. Di titik ini, harapan agar Presiden Jokowi dapat menuntaskan penyelesaian kasus pembunuhan Munir sangat dinantikan publik. Komitmen Presiden Jokowi dalam penghormatan terhadap HAM, salah satunya bisa diukur dengan cara menyelesaikan misteri kasus pembunuhan Munir dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Semoga Bapak Presiden mau mengambil langkah terobosan baru di tengah stagnasi penuntasan kasus pembunuhan Munir dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Semoga.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved