Akar Prostitusi Anak

Andy Ahmad Zaelany Puslit Kependudkan LIPI
06/9/2016 07:15
Akar Prostitusi Anak
()

“LO, bagaimana caranya tuh memerkosa?” ce­letuk seorang anak. “Sudah, lihat saja,” timpal temannya. Saya terkejut mendengar pembicaraan sekelompok anak yang sedang bermain gim yang rata-rata sedang duduk di kelas 3 SD. Langsung saja saya sita CD gimnya. Di dalam gim tersebut berisi permainan orang mencuri mobil, memerkosa wanita, dan lain-lain perilaku negatif, tapi dikemas dalam bentuk permainan.

Teknologi seperti gim memang memberi hiburan, memberi informasi, bahkan kadang mempermudah seorang anak menguasai bahasa Inggris. Namun demikian, harus dicermati aras negatif dari teknologi hiburan yang berdampak pada memburuknya karakter seorang anak. Perilaku negatif seperti sikap hedonistik, permissive dalam pergaulan, dan melemahnya kesantunan barangkali bisa timbul dari pemanfaatan teknologi yang tidak selektif dan tanpa kontrol, seperti gadget yang kini menjadi sahabat terakrab dari anak dan remaja.

Di sisi lain, adanya fenomena hubungan kekeluargaan yang terlalaikan. Hubungan darah (blood relative) mulai memudar, tidak seperti dulu lagi. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial terbedah dalam status (status) dan peran (role) dari para warga masyarakatnya, menyi­tir pendapat Talcott Parson. Keluarga, bagian kecil dari masyarakat, boleh dikatakan sebagai suatu little social system yang intinya terdiri dari ayah, bunda, dan anak-anak. Dengan status ayah, semestinyalah dia berperan sebagai kepala keluarga yang mengoordinasi anggota-anggota keluarganya. Dia berperan sebagai pencari nafkah utama dan pengayom utama keluarganya. Bunda ialah status yang dianggap mulia dan peran utama yang sering disandangkan padanya sebagai yang mengelola rumah dan pendidik uta­ma anak-anaknya. Adapun status anak, tentu saja peran utamanya ialah bersekolah menuntut ilmu, melatih keterampilan, mengembangkan kepribadian dan karakter dirinya, serta berbakti kepada kedua orangtuanya.

Keluarga masa kini
Miris sekali ketika berkeliling menengok beberapa keluarga yang kami kenal. Di dalam keluarga itu, justru orang paling akrab dengan anggota keluarga yang mendiami rumah tersebut ialah orang yang tidak punya hubungan darah sama sekali. Salah satunya ialah orang yang mengasuhnya sedari remaja. Dia hanya berdua saja dengan pengasuhnya.

Suaminya sudah menceraikannya, sementara anaknya sudah punya keluarga sendiri dan mendiami rumah yang berjauhan. Ada juga contoh yang lain ialah orang yang mengurusi ayah dan bunda yang sudah sangat tua. Anak-anaknya entah ke mana. Kabarnya tinggal di kota-kota lain. Kedua orang tua itu sudah sakit-sakitan sehingga memerlukan orang lain untuk selalu menolongnya, yang akhirnya menjadi keluarga terdekat­nya dan terakrabnya.

Ada kasus lain, inang, pengasuh beberapa anak yang dititipkan orangtuanya yang supersibuk. Anak-anak tersebut jarang sekali bertemu kedua orangtuanya, dan kehidupan sehari-harinya hanya bersama sang inang pengasuh dan teman-temannya. Situasi keluarga yang makin banyak kita jumpai pada keluarga TKI/TKW yang anak-anak hanya tinggal dan diasuh neneknya. Ayah dan bundanya bekerja di luar negeri.

Pemandangan paling umum di mana-mana, yakni ayah dan bunda bekerja habis-habisan mencari nafkah dan meniti karier. Anak-anak tinggal di rumah dengan pembantu atau hanya sendirian, kakak dan adik dengan keseharian yang intensif dalam pergaulan dengan teman-temannya. Gambaran keluarga seperti ini semakin lama semakin banyak terlihat di kota-kota, bahkan mulai merasuki perdesaan.

Hubungan darah (blood relative)yang secara tradisi diandalkan untuk kehangatan rasa berkeluarga hingga masa tua menjadi makin memudar sekarang ini. Hubungan darah yang dulu secara alami ialah penjamin keakraban keluarga, kini menjadi memudar dan tidak bisa diharapkan sepenuhnya sebagai perekat antaranggota keluarga. Kini mulai berkembang apa yang saya sebut sebagai ‘keluarga tanpa bentuk’ (anomaly family). Keluarga yang terwujud bukan karena hubungan darah, melainkan lebih berdasarkan hubungan keakraban, hubungan saling membutuhkan yang dipenuhi rasa kepercayaan.

Keluarga tanpa bentuk
Ada dua ciri utama keluarga tanpa bentuk. Pertama, bahasa tubuh (koerper sprache) yang mengindahkan kedekatan antaranggota keluarga yang mempunyai hubungan darah (Zaelany, 2006), seperti hilangnya sifat santun terhadap orangtua, hilangnya sifat saling menolong, dan kompak dengan saudara-saudaranya. Memudarnya rasa berbakti kepada kedua orangtua yang di antaranya dengan memasukkan kedua orangtuanya ke rumah jompo ketika mereka sudah sangat tua dan sakit-sakitan. Tidak mau hilang waktunya hanya untuk mengurusi orangtua, segan berbagi uang dengan saudaranya yang kesulitan finansial, dan lain-lain.

Kedua, sebagaimana bagian tubuh yang bisa disewakan (misalnya rahim dengan mengandung anak orang lain)(lihat Hauser-Schaublin dan Stolcke, 2000), hubungan kekeluargaan juga bisa diperoleh dari yang bukan sekandung (non-blood relative) dengan berbagai cara, misalnya mempunyai anak angkat (adopted child), menyewa pengasuh untuk anak-anak, membayar biaya perawatan orang tua di rumah jompo, dan mengajak orang lain, misalnya temannya untuk tinggal serumah. Lalu, menyewa inang pengasuh untuk anak-anaknya yang tinggal beda kota, dan menitipkan anak-anak pada neneknya karena ayah dan bunda bekerja di luar kota.

Berkembangnya keluarga tanpa bentuk (anomaly family) ini merupakan imbas dari modernisasi yang tidak didukung dengan penataan kehidupan sosial masyarakatnya. Di sisi lain, situasi ini semakin diperparah dengan pemanfaatan teknologi, khususnya teknologi hiburan untuk anak-anak yang tidak selektif dan tanpa kontrol, akan cenderung memperlemah karakter anak. Kemudian, berkembang prostitusi anak dari situasi seperti itu tidaklah mengherankan. Pengabai­an kehidupan sosial masyarakat justru pada akhirnya akan menghancurkan kemajuan-kemajuan pembangunan yang telah diperoleh dan juga kelak pada kemerosotan ekonomi masyarakatnya. Nah!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya