DI tengah gemuruh sorak-sorai ribuan penonton, Cristiano Ronaldo berjalan gontai menuju ruang ganti seusai timnya disingkirkan Maroko di perempat final Piala Dunia 2022, Sabtu (10/12). Dari tayangan kamera televisi, penyerang Portugal itu bahkan terlihat menangis sembari mengusap air matanya di lorong Stadion Al Thumama. Sehari sebelumnya, bintang Brasil Neymar da Silva Santos Junior alias Neymar juga sesenggukan di lapangan setelah timnya didepak Krosia melalui drama tos-tosan di babak yang sama.
Ronaldo dan Neymar adalah dua pria macho. Setidaknya, begitu kesan yang disimbolkan para pengiklan selama ini. Dalam tayangan pariwara berbagai produk yang mereka bintangi, dari otomotif, perangkat elektronik, pakaian, cairan pencuci rambut, hingga alas kaki, mereka dikonstruksikan sebagai pria-pria gagah. “Jika ingin terlihat keren, pakailah produk yang digunakan dua pemain ini,” begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan para pengiklan. Biasa, namanya juga pedagang.
Lantas, apakah dengan begitu para pria gagah ini tidak boleh menangis? Boleh-boleh saja. Menangis adalah hal yang manusiawi. Pesepak bola juga manusia. Menurut ilmu psikologi dan kesehatan, keluarnya air mata antara lain dipicu oleh emosi yang berlebihan, entah karena sedih, terharu, atau bahkan gembira. Tangis Neymar dan Ronaldo bisa jadi karena rasa kecewa berlebihan lantaran harapan mereka untuk mengangkat trofi di ajang tersebut tidak kesampaian. Apalagi, bagi Ronaldo, tahun ini merupakan penampilan terakhirnya di timnas.
Anda, terutama pendukung Brasil dan Portugal, mungkin juga kecewa atau bahkan barangkali juga ikut berkaca-kaca menyaksikan kekalahan tragis itu. Tidak apa-apa, itu lumrah, kok. Enggak usah malu. Itu artinya, sebagai pemirsa dan penikmat sepak bola, Anda telah mendalami peran dengan baik. Sepak bola memang bukan sekadar permainan. Ia adalah pentas mini kehidupan. Seperti halnya hidup, selain kegembiraan dan harapan-harapan, di dalamnya kadang terselip ironi, juga tragedi.
Dalam lakon kali ini, Al Rihla, bola resmi buatan Adidas yang digunakan pada perhelatan ini, berperan sebagai algojo yang mengeksekusi nasib Ronaldo, Neymar, dan sejumlah pemain lainnya, termasuk tim tuan rumah yang harus puas cuma sampai babak penyisihan. Malam nanti, bola yang diproduksi di Pakistan dan Tiongkok itu akan kembali berperan sebagai eksekutor. Ia bakal menentukan nasib Prancis dan Argentina, apakah keluar sebagai pemenang atau pecundang.
Sebagai penggemar sepak bola, entah kenapa tahun ini saya (yang biasanya fanatik pada tim Inggris) menjagokan Argentina. Namun, melihat perjalanan tim ini dari babak penyisihan hingga ke partai puncak, kekaguman saya sedikit tercoreng. Itu lantaran ulah Lionel Messi. Terutama saat ia dengan provokatif mengejek pelatih Belanda, Louis van Gaal, seusai mencetak gol di menit ke-73. Tidak hanya itu, pemain yang dijuluki La Pulga (si Kutu) ini juga memaki striker Belanda, Wout Weghorst, setelah pertandingan.
Menurut saya, tindakan itu kurang elok dan tidak bermutu. Dalam sebuah kompetisi kita tetap harus menghormati lawan. Jadi, seandainya malam nanti Dewi Fortuna membentangkan kedua sayapnya di Stadion Lusail untuk melindungi dan berpihak ke kubu Prancis, saya pun kiranya tidak akan menangis. Paling dalam hati saya cuma akan bersenandung lirih, Don’t cry for me Argentina…. Wasalam.