DALAM linguistik Indonesia dikenal istilah dwilingga salin suara. Istilah yang diadopsi sepenuhnya dari linguistik Jawa, dwilingga salin swara. Sebuah gejala kebahasaan yang mengacu pada salah satu cara pembentukan kata melalui reduplikasi bentuk dasar kata disertai dengan adanya perubahan bunyi.
Dalam kehidupan keseharian kita biasa mendengar atau bahkan mengucapkan kata yang tidak asing lagi di telinga; wara wiri, sana sini, bolak balik, gerak gerik, serba serbi, corat coret, kelap kelip, lauk pauk, sayur mayur, ramah tamah, cerai berai, dan masih banyak lagi.
Mengenai alasan atau mengapa reduplikasi terjadi, dipastikan tidak aka nada orang yang bisa menjawab. Tetapi jika pertanyaannya adalah apa efek reduplikasi dwilingga salin suara itu, jawabannya adalah untuk mempertegas nuansa kata sehingga terkesan tegas dan lebih (eksageratif).
Ketika seorang jurnalis melintas di sebuah jalan utama lalu melihat banalitas geng yang melakukan aksi grafiti di tembok warga, toko, dan fasilitas umum seperti jembatan atau pos jaga polisi, dipastikan ia akan menuliskan reportase di medianya 'Aksi Corat-coret Kembali Marak!'
Berbekal informasi kebahasaan di atas, selanjutnya kita bisa memakainya untuk melihat situasi sosial budaya terkini. Telisik bisa diarahkan pada pelbagai ujaran tentang topik tertentu yang mengemuka dalam pelbagai proses percakapan atau komunikasi antar dan lintas personal.
Di grup percakapan whatsapp RT kampung saya, dua bulan sebelum puasa, kepala dusun memposting surat edaran dari pemerintah desa tentang kesempatan melakukan vaksin booster terkait pandemi covid 19. Hal itu disertai penegasan agar warga berpartisipasi dengan seruan pemerintah itu.
Tak lama sirkulasi percakapan pun mulai ramai. A menulis dalam bahasa Jawa, "Seprana-seprene kok ming dikongkon voksan-vaksin. Bosen." (Sekian lama kok cuma diperintah untuk vaksin. Bosan). B menulis dengan nada, "Mengerikan, ora arep voksan-vaksin meneh, jatahe urip ya urip jatahe mati ya mati." (Tidak akan vaksin, jatahnya hidup ya hidup, jatahnya mati ya mati).
Di sepuluh hari Ramadan, di grup whatsapp kampus beda lagi. Kali ini topiknya tentang mudik lebaran dan keharusan swab bagi pelaku perjalanan. Teman A menulis, "Ora arep mudak-mudik, wis ribet larang ongkose." (Tidak mau mudik, sudah ribet mahal ongkosnya). Teman B menulis, "Ora arep mudak-mudik, nyugihke bakule vaksin." (Tidak akan mudik, memperkaya penjual vaksin).
Di tengah himpitan hidup dan rutinitas sosial keseharian yang menjemukan dan kadang mengancam, banyak orang menegaskan pikiran dan perasaannya lewat bahasa, lewat ujaran reduplikatif. Dalam hal ini bahasa dipakai sebagai alat untuk mengutarakan apa yang saat ini tengah dialami.
Dalam sebuah gradasi, perasaan dan pikiran masyarakat itu disampaikan dakam bentuk gerundelan, kritik, hingga pembangkangan. Dengan demikian lebih dari sekadar penegasan persepsi dan sikap dalam bentuk gerundelan dan kritik, mereka membuktikannya dalam tindakan.
Demikian halnya selepas Presiden Joko Widodo menyampaikan sikap pemerintah yang tetap akan menggelar pemilu pada November 2024, warga RT pun berkomentar, "Ora ngurus pemila-pemilu, nasibe wong cilik gur ngena-ngene terus." (Tidak ada urusan dengan pemilu, nasib orang kecil cuma begini-begini terus). "Pemila-pemilu ming nyugihke sing sugih." (Pemilu hanya memperkaya yang kaya).
Ungkapan di atas mengingatkan omongan orang di era Orde Baru setiap menjelang atau bahkan jauh-jauh hari sebelum pemilu. Banyak orang sambil celingukan berkata, "Ora butuh pemila-pemilu, sing menang gur kuwi-kuwi terus." (Tidak butuh pemilu, yang menang cuma itu-itu terus).
Apakah himpitan dan keresahan yang menerpa masyarakat sebagaimana diungkapkan dalam pelbagai ujaran terakhir di atas, akan berujung pada pembangkangan politik seperti maraknya golput? Saya tidak tahu. Hanya saja kemungkinan ke arah sana tentunya tetap ada.