Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
ADA 598.291 masjid dan musala yang resmi tercatat dalam Sistem Informasi Masjid (Simas) Kementerian Agama (Kemenag) per Maret 2021 lalu. Jumlah itu tentu masih jauh dari fakta di lapangan. Sebab, pada 2020 saja, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla menyebutkan Indonesia telah memiliki lebih dari 800 ribu unit tempat ibadah umat Islam hingga menjadikannya sebagai negara dengan masjid paling banyak di dunia.
Predikat sebagai negara dengan masjid terbanyak juga bukan berarti bebas kritik. Ia justru bisa menjelma beban. Banyaknya simpul syiar agama itu mesti diimbangi dengan penampakan keluhuran ajaran Islam melalui laku lampah masyarakatnya yang berakhlakul karimah.
Pekerjaan rumah berikutnya ialah meluaskan, sekaligus membumikan pemaknaan masjid. Masjid bukan cuma sebuah bangunan dengan keumuman dipuncaki kubah. Lebih dari itu, masjid adalah perlambang keimanan, penunjang peradaban, dan penggerak rakyat menuju kesejahteraan.
Makna dan fungsi
Lafaz ‘masjid’ terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Mengacu kajian gramatika Arab, masjid berasal dari kata ‘sajada-yasjudu’, yang bermakna sujud. Kata ini merupakan salah satu di antara banyak lafaz yang jika tidak ingin disebut syadz atau menyalahi kaidah memiliki keistimewaan pada sisi morfologi. Kekhususan itu akan tampak jika diurut dari proses isytiqaq alias perubahan kata menuju lafaz ‘masjid’ yang berstatus isim makan (keterangan tempat).
Berdasarkan tasrif istilahi, ‘sajada-yasjudu’ masuk ke dalam bab pertama dari enam bentuk fi’il tsulatsi mujarad--berupa wazan ‘fa’alayaf’ulu’ yang lazimnya membentuk isim makan berwazan ‘maf’alun’, dalam arti ‘masjadun’. Akan tetapi, hal ini tidak diberlakukan pada kata ‘sajada-yasjudu’ sehingga dibunyikan ‘masjidun’ atas dalil sima’i alias common usage (penggunaan umum) masyarakat Arab.
Al-Qur’an juga tidak sekali pun menyebut masjid dengan lafal ‘masjadun’. Ada pula yang berpendapat, penggunaan ‘masjadun’ dihindari karena hanya akan menyempitkan makna masjid sebagai tempat sujud. Sebagaimana sebutan ‘math’amun’ sebagai tempat makan alias restoran maupun ‘maktabun’ tempat menulis atau kantor.
Perluasan fungsi itu, sebagaimana digambarkan QS An-Nur: 36-37; “Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan,dan tidak (pula) oleh jual beli, atau aktivitas apa pun dan mengingat Allah, dan (dari) mendirikan salat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.”
Menurut pakar tafsir Al-Qur’an Prof Quraish Shihab, makna tasbih pada ayat tersebut bukan hanya menzikirkan lafaz ‘subhanallah.’ Akan tetapi, lebih bersinggungan dengan segala hal yang berkait paut dengan konteks kalimat tersebut. Lantaran lafaz tasbih diambil dari kata ‘sabbaha’ yang berarti menjauh, maka bertasbih adalah tindakan menjauhkan diri dari segala kekurangan dan dosa alias bertakwa kepada Allah SWT.
Alhasil, masjid adalah tempat segala kebaikan yang mampu mengantarkan manusia pada ketakwaan, bukan sebatas tempat salat dan bersujud.
Sang maestro sejarah Islam, Syekh Shafi urrahman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Raheeq al-Makhtum (1979) menceritakan, Nabi Muhammad SAW tidak cuma memosisikan masjid sebagai tempat salat lima waktu. Lebih dari itu, pertama, masjid kala itu berkembang fungsi menjadi selayaknya sebuah kampus, yakni tempat kaum muslimin mempelajari Islam dan menerima segenap pencerahan. Kedua, bangunan suci yang dibangun Rasulullah setelah Masjid Quba tersebut juga dijadikan titik pertemuan beragam elemen yang selama ini direnggangkan, bahkan dicerai-beraikan tradisi jahiliah. Ketiga, sebagai majelis permusyawaratan dan parlemen untuk mengadakan sidang-sidang kepentingan publik.
Fungsi lain yang tak kalah penting, Nabi menjadikan masjid sebagai rumah tinggal dan pemberdayaan fakir, miskin, dan pengungsi dari kalangan muhajirin.
Restorasi, bukan modernisasi
Sejarawan seni rupa Islam, Thomas Walker Arnold, bahkan menyebut fungsi masjid juga menyentuh hal-ihwal tentang peran kenegaraan. Rasulullah menjadikan masjid sebagai tempat mengatur, merumuskan, dan menyampaikan urusan-urusan pemerintahan kepada publik. Pola ini juga diteruskan oleh para khulafaur rasyidin yang menjadikan masjid sebagai tempat pembacaan khutbatu al-’arsy saat serah terima jabatan.
Makna dan fungsi masjid yang pada mulanya begitu luas, amat disayangkan jika pada akhirnya harus menyempit hanya menjadi tempat salat dan pengajian. Fungsi masjid mesti direstorasi selayaknya atau setidaknya sesuai semangat di zaman Nabi, yakni menjadi poros kegiatan syiar keagamaan dan kemasyarakatan.
Paling, ada tiga langkah yang diperlukan agar masjid kembali pada kesemangatan sebagai pusat peradaban Islam, pun kemasyarakat an. Pertama, masjid harus berada di dalam pengelolaan tangan-tangan yang kompeten. Pengurus masjid hari ini membutuhkan daya nalar yang inovatif, kreatif, dan spirit kepemimpinan yang baik. Oleh mereka, masjid akan berperan melampaui fungsi keumuman. Masjid-masjid seperti ini tidak mustahil menjadi poros pendidikan, kesehatan, bahkan ekonomi kemasyarakatan.
Kedua, pengelolaan yang serius. Masjid tidak bisa diposisikan sebagai rumah kedua bagi para pengurusnya. Totalitas para sahabat Nabi dalam ikhtiar-ikhtiar pemakmuran masjid mendongkrak daya tarik rumah ibadah sebagai pusat segenap kegiatan. Ketiga, pelurusan niat. Sistem musyawarah mufakat menjadi acuan penting dalam menopang kemakmuran masjid. Tanpa itu, masjid yang semestinya sebagai ruang terbuka malah mewujud eksklusif dan kembali terbatas dibajak keegoisan personal.
Restorasi fungsi masjid tidak cuma bertendensi pada bentuk arsitektur maupun sarana dan prasarana fisik lainnya. Melampaui itu, merestorasi fungsi masjid berarti sekaligus membangun semangat SDM di dalamnya agar menjadi sosok yang penuh keterbukaan, berkeadilan, dan berkeadaban.
Sayangnya, kerja-kerja restorasi fungsi masjid ini bukanlah perkara gampang. Ia harus dibangun secara kolektif dan berjamiyah. Hal ini persis seperti yang tengah dilakukan jaringan Masjid Nursiah Daud Paloh yang tersebar di Jakarta, Jawa Barat, dan Lampung. Gagasan menghadirkan kembali masjid yang mengayomi keberagaman identitas, sekaligus mampu menjawab segenap persoalan umat, terus diikhtiarkan penuh semangat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved