Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
"SEBERAT apa pun hukuman yang diberikan kepada pelaku, korban tindak kekerasan seksual hingga saat ini masih sulit mendapatkan keadilan." Pernyataan itu dilontarkan Ketua Panitia Kerja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Willy Aditya saat mengomentari hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan, terdakwa pemerkosa 13 anak di bawah umur. (Media Indonesia, 16/2).
Dalam perspektif korban dan keluarganya, meski pelaku divonis hukuman mati sekalipun, sebetulnya tidak akan pernah dapat menyembuhkan luka psikologis korban yang harus menanggung beban penderitaan seumur hidupnya. Sementara itu, bagi para pelaku tindak kekerasan seksual, meski ancaman hukuman diperberat hingga hukuman mati sekalipun, alih-alih berkurang, tindak kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat justru terus meningkat.
Softifikasi
Tindak kekerasan seksual bukan sekadar tindak kejahatan kesusilaan, melainkan kejahatan kemanusiaan dan moralitas. Heise (1994) menyatakan yang dimaksud dengan tindak kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya ialah segala tindakan kekerasan verbal atau fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang diarahkan pada seorang perempuan--apakah masih anak-anak atau sudah dewasa--yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.
Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan ketika tindak kekerasan seksual hanya diartikan sempit sebagai perilaku pemaksaan yang keras dan menekan. Jangan heran apabila banyak kejadian kekerasan seksual yang lepas dari tuntutan pengadilan. Tindak pemerkosaan sering terjadi dari hasil bujuk rayu dan dikamuflase sebagai hubungan suka sama suka. Tersangka kasus perkosaan banyak yang lolos dari tuntutan hukum hanya karena korban dituduh sebagai pihak yang ikut menikmati peristiwa laknat yang menimpanya itu.
Havelock Ellis (2011) dalam bukunya, Studies in the Psychology of Sex, menyatakan bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya memberlakukan kembali masa percumbuan hewan yang primitif yang mana desakan laki-laki merupakan desakan untuk 'menaklukkan' dan desakan perempuan ialah desakan untuk 'ditaklukkan'.
Ellis menyatakan bahwa perempuan sebenarnya 'menikmati' sewaktu diperkosa, digigit, dan dipermalukan secara seksual. Dia menyimpulkan bahwa antara kesakitan dan kesenangan seksual perempuan sesungguhnya tidak dapat dibedakan. Perempuan, menurut Ellis, harus mempelajari bahwa permintaan dan hasrat laki-laki melakukan kekerasan seksual ialah sesuatu hal yang alami dan tak dapat dielakkan hingga mereka hanya dapat mencapai kesenangan seksual dengan menyetujui untuk ditaklukkan dan 'menikmati' ketundukan mereka terhadap laki-laki.
Dalam gradasi yang berbeda, pandangan Ellis seperti di atas harus diakui masih berkembang di masyarakat postmodern seperti sekarang ini. Bahkan, ada kesan perbincangan tentang tindak kekerasan seksual telah mengalami proses softifikasi. Masyarakat menjadi makin terbiasa dan karena itu sepertinya mahfum ketika membaca berita tentang tindak kekerasan seksual. Alih-alih bersikap empatif dan peduli terhadap nasib korban tindak kekerasan seksual, justru yang terjadi di lapangan malah sikap pembiaran dan bahkan cenderung menyalahkan korban. Perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan seksual tidak jarang dituduh kurang mampu menjaga diri dan bahkan dituduh ikut menikmati serta berperan mengundang terjadinya tindak kekerasan seksual yang dialaminya.
Tidak sedikit masyarakat yang masih meyakini bahwa tindak kekerasan seksual terjadi karena semakin banyak perempuan yang berani berpakaian mini dan ketat, serta dengan sengaja menonjolkan keindahan tubuhnya. Sementara itu, ada pula yang mengatakan bahwa tindak kekerasan seksual terjadi karena adanya faktor n (niat) dan k (kesempatan). Artinya, tidak sekadar kekhilafan dan motif bejad pelaku, tindak kekerasan seksual juga diyakini terjadi karena adanya kesempatan yang memungkinkan dan menstimulasi peristiwa itu terjadi.
Empati
Meningkatnya kasus dan kompleksnya penanganan kasus kekerasan seksual mengisyaratkan pentingnya penanganan dan perlindungan bagi (anak) perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan seksual. Acuan hukum yang pasti mutlak dibutuhkan karena korban-korban telah banyak berjatuhan tanpa mendapatkan penanganan yang memadai.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah didiskusikan di DPR RI sejak 2016 tidak mungkin ditunda lagi. Dari pemberitaan media massa, diketahui RUU tersebut saat ini telah selesai diharmonisasi Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dan diharapkan dapat segera disahkan. Disadari bahwa tindak kekerasan seksual sudah masuk dan menjadi situasi darurat yang benar-benar mendesak untuk segera ditangani.
Payung hukum dan pijakan yang jelas perlu segera ditetapkan agar tidak terjadi multitafsir tentang bagaimana seharusnya melindungi korban dan menangani kasus tindak kekerasan seksual di masyarakat. UU yang pasti dibutuhkan untuk mewujudkan kepastian hukum dan melindungi korban tindak kekerasan seksual.
Bagi para wakil rakyat yang bertanggung jawab untuk segera mengesahkan RUU TPKS, yang dibutuhkan saat ini tak pelak ialah empati. Lebih dari sekadar simpati, empati merupakan sikap dan rasa untuk membayangkan bahwa mereka ialah korban atau orang terdekat dari korban yang ikut merasakan penderitaan perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan seksual. Dengan bersikap empatif, tidak ada lagi alasan untuk menunda mengesahkan RUU TPKS menjadi UU TPKS.
Dengan aturan hukum yang jelas, para korban atau penyintas tindak kekerasan seksual akan mendapatkan penanganan yang tepat. Sementara itu, pelaku juga akan mendapatkan sanksi hukum yang setimpal agar tidak lagi mengulang kesalahan yang sama.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved